Oleh: Wiyoso
Yudoseputro
Wiyoso Yudoseputro |
Poleksosbuda - Kamis, 17 April 2014 - 13:33 WIB - Umumnya pada kesenian timur, fungsi seni adalah sebagai media kebaktian
agama atau pengabdian kepada para penguasa.
Isi dan bentuk seni tidak mencerminkan kebebasan pribadi seniman. Kualitas karya seni, baik teknis maupun
estetis dan pesan yang disampaikan tidak dapat dipisahkan dari fungsinya. Untuk ini diperlukan kaidah-kaidah seni yang
bersumber pada ajaran agama dan tuntutan kultus raja atau bangsawan. Kaidah seni menjadi semacam hukum dan konsep
seni menjadi sumber penciptaan seni.
Sesuai dengan pengaruh kebudayaan non-Islam seperti
yang telah disinggung di depan, maka hukum seni yang berlaku pada zaman Islam
kuno banyak bersumber pada tradisi seni Indonesia sebelumnya. Oleh para penciptaan seni, tradisi lama itu
diolah dan disempurnakan sesuai dengan pesan-pesan baru untuk kebutuhan Islam.
Kedudukan
Seniman
Kegiatan seni yang berpusat di istana menempatkan
kedudukan seniman menjadi terhormat.
Istilah empu sebagai sebutan
para seniman istana mengandung arti seorang yang tidak hanya ahli di bidang
kesenian tetapi juga dalam bidang pengetahuan lain. Sebagai seorang seniman ahli empu tidak hanya menguasai satu cabang
kesenian. Dia dituntut untuk memiliki
wawasan seni budaya yang luas yang menjamin tercapainya tujuan seni yang utuh
dan lengkap yang dapat menjawab tuntutan kebutuhan manusia secara
menyeluruh. Seorang empu wayang mengenal dan mendalami segala aspek dari seni wayang
dengan segala sifat multimedianya yaitu wayang sebagai media pendidikan, media
pentas dan media seni rupanya. Dia adalah pemahat wayang sekaligus penyungging
wayang dan ahli perlambangan sosok manusia. Dia adalah pencipta bentuk wayang
sekaligus pementas atau dadalam sejarah
Indonesialang wayang yang mendalami kesusastraan sebagai sumber cerita
wayang.
Dalam sejarah perkembangan kesenian Islam-kuno di
Indonesia, Wali sangat besar peranannya dalam menciptakan karya seni. Sering disebut-sebut bahwa beberapa Wali yang
terkenal dalam sejarah Indonesia adalah pendiri
masjid dan pencipta bentuk wayang.
Kedudukan Wali sebagai empu menjadi
panutan bagi para raja atau sulta yang memerintah kerajaan Islam
selanjutnya. Tidak jarang disebut-sebut
dalam sejarah sultan-sultan yang disamping kedudukannya sebagai pemimpin
terttinggi dalam pemerintahan, juga terkenal sebagai empu. Kegiatan seni yang
ditunjang dan langsung dipimpin oleh para sultan inilah yang menimbulkan
suasana seni yang menjamin kelestarian tradisi kebudayaan istana secara
turun-temurun.
Sesuai dengan struktur pemerintahan feodal dengan
pandangan hidup yang serba kosmis-magis, para penguasa di daerah juga mengikuti
kehidupan dengan pola kebangsawanan yang sama. Pada kerajaan-kerajaan bawahan di daerah,
tercipta pula pola kehidupan seni budaya yang sama yang disesuaikan dengan
tradisi daerahnya masing-masing. Da
daerah ini pula muncul empu-empu
dengan hasil ciptaan yang kadang-kadang menyimpang dari gaya seni yang berada
di pusat kerajaan. Maka terciptalah
berbagai gaya dan corak seni yang berbeda di tiap daerah.
Seorang empu yang
berkarya dibantu oleh para pembantu atau juru-juru seni yang disebut cantrik. Mereka ini adalah pembantu
sekaligus murid empu yang bekerja
atas petunjuk yang diberikan. Kaidah
seni atau hukum seni diajarkan kepada para cantrik.
Segala petunjuk teknis dan artistik
serta nilai kejiwaan dari karya seni adalah sumber dan modal kreatifitas
mereka. Jelas bahwa para cantrik ini dalam tingkatan tertentu
tidak hanya sebagai pekerja seni yang terampil tapi juga seniman reproduktif
dengan wawasan dan persepsi seni yang cukup tangguh. Para pekerja seni ini pula yang biasanya juga
berperan dalam pembinaan seni istana.
Mereka sebenarnya bibit-bibit seniman yang diandalkan dalam uasaha
melestarikan seni feodal waktu ini.
Perkembangan kebudayaan feodal sebagai pengaruh
dari kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat pada zaman kerajaan Islam ikut
membawa perubahan dalam kehidupan seni.
Jalinan kebudayaan istana dengan kebudayaan masyarakat petani bisa berakibat menyebarnya tradisi seni feodal
keluar istana. Para cantrik tersebut dengan pengalaman seninya ikut berperan dalam
pertumbuhan seni dalam masyarakat luas dengan tradisi seni feoda. Maka muncullah tenaga-tenaga pengrajin dengan
karya kerajinannya yang memiliki gaya seni feodal yang bekerja untuk para
pengusaha dan pemimpin adat dalam masyarakat.
Disinilah berlakunya penularan kecakapan seni yang menumbuhkan tradisi
baru. (Referensi: Wiyoso
Yudoseputro: Pengantar Seni Rupa Islam Di
Indonesia, Penerbit Angkasa Bandung,
2000)
*) Wiyoso Yudoseputro lahir di Salatiga, tgl. 28
Febuari 1928. Mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Mengajar mata
kuliah Sejarah Kesenian Indonesia di luar tugas utamanya sebagai pengajar
tetap Jurusan Seni Rupa IKIP Bandung.
Editor:
Slamet Priyadi
Kamis, 17 April 2014
– 13:28 - Bumi Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar