Selasa, 18 Juni 2013

Cerita sedih Soekarno tak punya uang untuk pernikahan putrinya


Merdeka.com – Sel, 18 Jun 2013

Bung Karno dicampakkan bangsanya sendiri.

MERDEKA.COM. Soekarno hidup menderita di akhir hidupnya. Dia menjalani tahanan rumah dan selalu dijaga ketat oleh tentara. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memperlakukan proklamator RI ini sebagai pesakitan.

Soekarno tak punya uang simpanan di akhir hidupnya. Ketika salah seorang putrinya hendak menikah, Soekarno tak punya uang. Dengan malu dan terpaksa, dia meminta bantuan salah seorang istrinya, Yurike Sanger, untuk mencarikan utangan Rp 2 juta.

Dengan pengawalan ketat, Soekarno menemui Yurike. Wanita itu menangis melihat Soekarno. Tak ada lagi kegagahan yang dulu tampak. Sosok Soekarno kini tua dan renta karena tekanan batin.

"Mas tak ingin diberi stempel sebagai bapak yang gagal. Yang jadi persoalan utama, Mas tidak punya uang. Hidupku selama ini sama sekali untuk bangsa dan negara, sama sekali untuk kepentingan nasional," beber Soekarno dengan getir.

Untungnya beberapa hari kemudian Yurike bisa mendapatkan uang itu. Dia mendapat pinjaman lunak dari seorang pengusaha.

Hal itu diceritakan Yurike Sanger dalam memoarnya yang ditulis Kadjat Adra'i dan diterbitkan Komunitas Bambu.

Peristiwa lain terjadi tahun 1969, saat itu Rachmawati Soekarnoputri menikah dengan Martomo Pariatman Marzuki. Soekarno dengan penjagaan ketat tentara Orde Baru datang ke pernikahan itu. Suasana sungguh mengharukan. Fatmawati, istri Soekarno menyambut suami yang lama tidak ditemuinya. Fatmawati pun sedih melihat kondisi Soekarno yang kurus dan lemah.

Dengan kasar tentara itu mengusir Fatmawati agar tak mendekati Soekarno. Presiden pertama ini benar-benar diperlakukan seperti narapidana.

Saat Sukmawati menikah, peristiwa itu terulang lagi. Soekarno semakin lemah. Dia bahkan harus dipapah saat naik tangga. Soekarno menangis tersedu-sedu melihat putrinya menikah. Hadirin pun menangis melihat Soekarno sangat tak berdaya.

Tapi tidak demikian dengan para penjaga Soekarno. Tanpa belas kasihan mereka mendorong Soekarno masuk mobil saat jam kunjungan berakhir. Saat Soekarno hendak melambaikan tangan, para tentara itu menarik tangan Soekarno dengan kasar.

Tak ada bedanya dengan memperlakukan bandit jalanan. Inilah senjakala sang pemimpin besar revolusi. Dicampakkan bangsanya sendiri.

Sumber: Merdeka.com

Jumat, 14 Juni 2013

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja: “Implementasi Dharma Dalam Era Kali Yuga"

Denmas Priyadi Blog│Senin, 10 Juni 2013│21:48 WIB

Jiwantani mrtavan - manye
dehinam dharma - varjitam
yato dharmena samyukto
dirgha-jivi na samsayah”
(Niti Sastra XIII. 9)

Artinya : “Orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan dharma, sebenarnya ia sudah mati, walaupun masih hidup. Seorang dharmaatma, yaitu orang yang perbuatannya sepenuhnya sesuai dengan dharma, sebenarnya ia masih hidup, walaupun ia sudah mati”.

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja (Foto: SP)
Dharma secara umum didefinisikan sebagai kebajikan (virtue), kewajiban (duty) dan agama (religion). Dalam Santi Parwa, Resi Bisma memberikan wejangan kepada Yudisthira, bahwa apapun yang menimbulkan pertentangan adalah adharma, dan apapun yang menyudahi pertentangan dan membawa pada kesatuan, keharmonisan dan keselarasan adalah dharma. Segala aktivitas manusia yang menimbulkan perselisihan, keretakan, ketidak selarasan dan menimbulkan kebencian adalah adharma. Segala upaya manusia yang membantu untuk menyatukan segalanya, mengembangkan cinta kasih kepada Tuhan dan persaudaraan universal adalah dharma. Dharma merupakan penuntun menuju jalan kesempurnaan, penolong untuk penyatuan langsung dengan Tuhan, sadhana untuk mencapai sifat-sifat ilahi dan merupakan jantung etika/susila Hindu. Resi Kanada dalam waisesika sutranya menyebutkan:

“Ya to bhyudayaniksreyasa siddhih so dharmah”. “Yang menuntun untuk pencapaian kemakmuran di dunia, penghentian total dari derita dan pencapaian abadi setelahnya, adalah dharma”.

Empat Macam Dharma
Salah satu dimensi dari kehidupan adalah adanya interaksi antara harapan/cita-cita dengan kerja. Hidup tanpa cita-cita sama dengan mati. Sedangkan cita-cita tanpa kerja hanyalah sebuah mimpi. Hidup adalah sebuah kerja sesuai dengan swadharma masing-masing. Dalam pengertian dharma sebagai kewajiban (duty), ada empat jenis dharma yang dijadikan landasan dalam kehidupan.

Pertama, Asrama Dharma, merupakan kewajiban hidup sesuai dengan tahapan kehidupan manusia yang dikenal dengan catur asrama. Dalam kaitan dengan tujuan hidup untuk mewujudkan Catur Purusa Artha, maka kewajiban manusia yang termasuk dalam Asrama Dharma ini, mempunyai kaitan yang erat. Pada tingkatan Brahmacari Asrama, kewajiban manusia lebih difokuskan pada pengisian /penguasaan ilmu pengetahuan (jnana), baik pengetahuan keduniawian (Aparawidya) maupun pengetahuan kerohanian (Parawidya). Pada tahap Grhasta Asrama, kewajiban hidup lebih diprioritaskan untuk pemenuhan Artha dan Kama yang berlandaskan atas dharma. Sedangkan pada tahapan Wanaprastha dan Sanyasa, kewajiban hidup lebih dititikberatkan kepada pencapaian kelepasan atau Moksha.

Kedua, Warna Dharma, merupakan kewajiban hidup yang berdasarkan atas guna (sifat) / keahlian) dan karma (perbuatan/ kerja). Brahmana warna,mereka yang ahli dalam bidang spritual keagamaan. Ksatria warna, mereka yang ahli dan bekerja dalam bidang sosial ekonomi/ wiraswasta. sedangkan Sudra warna, mereka yang melakukan kewajibannya /bekerja lebih banyak menggunakan tenaga phisik dalam melayani ketiga wama lainnya (Brahmana, Ksatria, dan waisya).

Ketiga, sadharana dharma, merupakan kewjiban umum yang harus dilakukan oleh setiap insan, tanpa memandang asrama maupun warna. kewjiban umum itu antara lain menghormati sesama, kasih sayang (prema) antar sesama dan kepada semua makhluk, pelayanan yang tulus (sewa), pengorbanan, tolong-menolong dan yang lain.

Keempat, Yuga Dharma, merupakan kewajiban manusia yang disesuaikan / dipengaruhi oleh peredaran jaman (yuga). Dalam falsafah Hindu dikenal adanya empat tahapan jaman (Yuga), yaitu Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga.

Dalam Slokantara disebutkan:
“Pada jaman Satya Yuga tapabratalah yang diutamakan, pada jaman Treta Yuga pengetahuan yang diutamakan. Di jaman Dwapara Yuga upacara kurban (yadnya) yang diutamakan, dan di jaman Kali Yuga hanya kebendaan yang diutamakan”
(S.81.65).

Dalam Tirthayatra Parwa, yang merupakan bagian dari wana Parwa (salah satu parwa diantara delapan belas parwa dalam Mahabaratha) dikisahkan pertemuan antara Bima dengan Hanuman di lembah Gunung Gandhamadana. Dalam pertemuan tersebut, Hanoman memaparkan panjang lebar tentang perwatakan manusia, keadaan alam, pada tiap-tiap yuga dan Catur Yuga. Pada jaman satya Yuga kewajiban masing-masing warna dalam catur warna dilaksanakan dengan semestinya, ajeg, dan dilandasi oleh kebajikan yang utuh. selama Yuga ini tidak ada penyakit, kerusakan, dendam/kebencian, keangkuhan, kemunafikan, kelicikan, ketakutan, kesengsaraan, iri hati dan tidak ada keserakahan.

Pada jaman Satya Yuga dikiaskan Hyang Narayana (Tuhan Yang Maha Esa) berbusana warna putih. Pada jaman Treta Yuga, dharma (kebajikan) surut seperempat bagian, persepsi tentang kebenaran mulai beragam. Kemampuan intelektual (jnana dan wijnana) mendapat tempat yang terhormat pada jaman ini. Tokoh-tokoh Upanisad seperti; Yadnavalkya, Uddalaka Aruni, Nachiheta, Swetaketu dikisahka hidup pada jaman ini Hyang Narayana ( Tuhan Yang Maha Esa) dikiaskan menggunakan busana warna merah. Pada jaman Dwapara Yuga, dharma (kebajikan) surut setengah bagian. Hyang Narayana dikiaskan menggunakan busana kuning. Kemampuan untuk memahami/mendalami Weda mulai berkurang. Sifat-sifat yang dibalut oleh rajah dan tamah mulai merasuki kehidupan manusia. Bentuk-bentuk dan sarana pemujaan berkembang pada jaman ini. Jaman Dwapara Yuga merupakan era Itihasa/sejarah kehidupan Rama pada epos Ramayana dan Krishna pada epos Mahabarata, dimana Rama dan Krishna merupakan Awatara Wisnu yang ditugaskan untuk menumpas adharma di dunia. Di jaman Kali Yuga, kebajikan (dharma) hanya tinggal seperempat bagian. Hyang Narayana dikiaskan menggunakan busana hitam. Berbagai jenis penyakit, bencana alam bermunculan pada jaman ini. Catur Warna tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang ditetapkan. Upacara, dana punya, tapa berata tidak patut dijalankan lagi. Sifat-sifat buruk yang ditimbulkan oleh guna rajah dan tamah mencapai puncaknya pada jaman ini.

Dharma dan Kali Yuga
Kali Yuga adalah jaman (yuga), dimana kita umat manusia sekarang berada. Menurut Prof. Sir Monier Williams,MA,KOIE, pakar dan Guru Besar bahasa Sanskerta, Kali Yuga telah mulai tepat tengah malam antara tanggal 17 dan 18 Pebruari 3102 Sebelum Masehi (bertepatan dengan penobatan raja Pariksit, cucu Arjuna). Bila dihitung sejak tanggal 18 Juni 1996 yang lalu, Kali Yuga telah dijalani oleh umat manusia selama 5098 tahun lebih 4 (empat) bulan. Dalam Manawa Dharmasatra (I. 64-73) dan Bagawadgita (VIII.17) diulas mengenai lamanya masing-masing jaman (yuga) dalam Catur Yuga. Satya Yuga lamanya/berusia 1.728.000 tahun, Treta Yuga 1.296.000 tahun, Dwapara Yuga 864.000 tahun, dan Kali Yuga berusia/lamanya 432.000 tahun. Usia /lamanya seluruh Yuga adalah 4.320.000 tahun, dan disebut satu kalpa. Dengan demikian jarnan Kali Yuga masih tersisa kurang lebih 426.902 tahun. Suatu rentang/kurun waktu yang cukup panjang. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada jaman Kali Yuga, dharma / kebajikan hanya tinggal seperempat bagiannya. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari / ditolak. Kita umat manusia yang hidup di jaman ini hanya bisa berupaya memperkecil /meminimalkan pengaruh - pengaruh buruk yang di bawa oleh Kali Yuga. Rsi Bhisma yang beralaskan/berbantalkan ratusan anak panah, sambil menantikan ajalnya tiba saat gerakan matahari ngutarayana (berbalik ke utara), dalam Anusasana Parwa, beliau tidak henti-hentinya memberikan wejangan kepada Panca Pandawa, khususnya kepada Yudhistira yang akan memegang tampuk pemerintahan di Astinapura.

Khususnya mengenai Kali Yuga beliau mengatakan:
“Cucuku Yudhistira, tidak seorang manusia pun akan mampu melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Yuga ini. Hanya dengan pengetahuan dharmalah yang akan mampu sedikit melepaskan diri dari pengaruh tiap-tiap Yuga. Setelah jaman Dwapana sekarang ini. Kali yuga segera akan tiba, yang ditandai dengan kegoncangan dunia sebagai akibat oleh awidya (kegelapan). Raja-raja tidak lagi memberi sedekah, tetapi sebaliknya justru raja-raja yang disedekahi oleh orang-orang kaya”.

Kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan, yang dianggap paling berharga pada jaman Kali sekarang ini adalah uang atau harta benda. Bila uang dapat dikuasai, segala benda pemuas nafsu akan mudah didapatkan. Pada salah satu bait kekawin Niti Sastra menyebutkan:

“Yan Yuganta Kali dateng tan hana
mengeluwihaning Sang Maha-dana,
Sang Sura Pandita Widagda pada
mengayap ring Sang Daneswara”.
Atinya : “Bila jaman kali datang,
tidak ada yang lebih hebat dari orang kaya,
Para Ksatria (pejabat),
Pendeta dan orang pandai,
semua sebagai pelayan orang kaya”.

Bertolak dari “hitam kusamnya” jejak-jejak yang dibawa oleh zaman Kali, antisipasi-antisipasi apa yang mungkin masih bisa diupayakan guna meminimalkan pengaruhnya. Jawabannya sudah jelas adalah “back to Religion”, kembali ke jalan Dharma. Jadi bagaimana pelaksanaannya dharma di era Kali Yuga ini adalah minimal, tetap bisa membentengi diri kita di era Kali Yuga ini adalah setidak-tidaknya, tetap bisa mempertahankan kewajiban yang hanya tinggal seperempatnya itu dengan membentengi diri kita dengan Sradha (keimanan) yang kuat. Untuk memelihara etos kerja supaya tetap memiliki semangat melayani yang tinggi, kita bisa simak isi Sloka Bhagawagita (11.47) di bawah ini :

“Kewajibanmu hanyalah pada pelaksanaan kerja,
tidak ada hasil dari kerja itu.
Jangan hasil pekerjaan itu jadi motivasimu
dalam melaksanakan kerja.
Dan jangan sekali-kali engkau berdiam diri”.

Ditingkat sadhanah (pendakian spiritual) atau pendekatan diri kepada Tuhan, kita bisa simak Sloka berikut:
Perenungan/samadi adalah cara rnenghubungkan diri kepada Tuhan di jaman Satya Yuga, kurban suci jaman Yuga, pemujaan pada lingga di jaman
Dwapara Yuga, dan pengucapan maha mantra/kirtanam di jaman Kali Yuga.
(Srimad Bhagawatam 12.3.52)

Jadi berdasaran sloka di atas, cara yang paling tepat dilakukan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan di jaman Kali ini, adalah dilakukan kidung suci (kirtanam) dan menyebut nama Tuhan (namasmaranam). Dalam membentengi iman kita, sedemikian sehingga kita memiliki persepsi yang teguh, internalisasi yang mendalarn tentang kekuatan hukum karma, dan dapat memaknai realitas suka duka kehidupan, sloka berikut sangat kontekstual untuk kita kontemplasikan di jaman “kebendaan” sekarang ini:

“ayuh karma ca vittani ca
vidya nidham eva ca
pancaitani hi srjyante
garbhasthasyewa dehinah”.

Umur, pekerjaan, kekayaan,
Pengetahuan dan kematian,
kelima hal ini sudah ditentukan
sewaktu kita masih ada dalam
kandungan.
(Canakya Nitisastra IV.1)

Dalam upaya mengurangi rasa kikir, pengaturan Bhoga, Upabboga, dan Paribhoga, serta memobilisasi semangat berdana punya, bisa kita simak apa yang tersurat dan tersirat dalam sloka berikut:

Hendaknya perolehan harta benda itu dibagi tiga, satu bagian untuk kepentingan dharma/dana punya bagian kedua untuk memenuhi kama, dan bagian ketiga untuk kegiatan usaha memperoleh artha. Demikian hakekat pembagiannya oleh orang yang ingin memperoleh kebahagiaan. (Sarasamuscaya 262).

Perolehan sebanyak banyaknya dan berikan pula sebanyak-banyaknya. Hendaknya engkau bekerja dengan seratus tanganmu dan berdamailah dengan tanganmu.
(Atharvaveda VII.50.)

Ucapan Svami Vivekanda berikut merupakan senjata ampuh untuk menangkal/menanggulangi gejala seksual yang kian merebak di era yuga ini. Sudah barang tentu tidak cukup hanya dengan menyimak ucapan beliau saja, namun diperlukan upaya penyadaran diri terus-menerus untuk menepis perilaku asusila yang satu ini. Dalam buku Suara Vivekananda, beliau berkata:

“Bagi para pria, setiap wanita,
kecuali isterinya sendiri harus
dianggap/dipandang
sebagai ibunya sendiri”.
Dan bagi para wanita, setiap pria,
kecuali suaminya sendiri harus
dianggap sebagai anaknya.”

Andaikan saja setiap insan (kaum laki dan perempuan) mempunyai pandangan/pemikiran seperti Vivekananda, maka dunia ini akan terbebas dari pelecehan seksual.

Harapan:
Hembusan angin Kali Yuga kian deras di setiap sudut kehidupan di bumi ini. Kita sebagai umat tidak akan pernah kekurangan/ kehilangan tempat berpijak di tataran “landasan Spiritual”, guna meminimalkan pengaruh jaman kali ini. Berbuatlah seperti anak kera (markata nyaya), yang berpegang teguh kepada induknya, agar tidak jatuh, manakala sang induk loncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Berperilakulah seperti anak kucing (Marjara Nyaya), serahkan diri sepenuhnya, kendati sang induk tampak seperti memakannya, namun itulah cetusan kasih sayang sang induk kepada anaknya.
Posted by:
*) Drs. Igusti Ngurah Dwaja adalah ketua PGRI unit SMA Negeri 42, anggota team penulis Kurikulum 2013

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Drs. I Gusti Ngurah Dwaja: “Implementasi Dharma Da...: Denmas Priyadi Blog│Senin, 10 Juni 2013│21:48 WIB Jiwantani mrtavan - manye dehinam dharma - varjitam yato dharmena samyukto dir...

Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda


Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB

Drs. I Gusti Ngurah Dwaja
ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kesalahan sedikit saja, kadang akan dibesar-besarkan. Jika terjadi perlakuan demikian istri diharapkan tetap menanggapinya dengan kelembutan. “Berterimakasihlah pada orang yang mencaci-maki Anda.

Karena itu akan membuat Anda menjadi lebih sabar dan bijaksana,” ujar Gede Prama dalam Seminar “Rebut Masa Depan dengan Menyemai Masyarakat Enterpreneurial” yang digelar Kelompok Media Bali Post bekerja sama dengan Bank Saudara, di Denpasar. Tampil juga sebagai pembicara, founder Medco Group Arifin Panigoro yang mengupas tentang “Tantangan dan Peluang sebagai Surga Masyarakat Entrepreneurial”.

Gede Prama mengatakan tiap tingkatan ke atas pasti selalu akan menemukan banyak halangan, rintangan dan cobaan. Karena tanpa itu, manusia menjadi lemah. Kehidupan harus terus naik. Naik secara material juga spiritual. Keseimbangan ini yang akan membuat manusia bahagia. “Jangan menganggap masalah sebagai racun, tetapi vitamin/berkah. Ini yang akan membuat manusia bertumbuh,” ujarnya.

Rintangan terbesar manusia ada dalam pikirannya. Pikiran positif akan menghadapkan manusia pada peluang, sedangkan pikiran negatif membawa manusia pada ancaman dan halangan. Karena itu, penulis buku “Simfoni di Dalam Diri: Mengubah Kemarahan Menjadi Keteduhan” ini menyarakan peserta seminar untuk selalu berpikir positif.

Ia memberi ilustrasi orang yang mengirimkan kotoran sapi yang diletakkan di halaman rumah tetangganya. Jika berpikir negatif, kotoran sapi ini dinilai sebagai bentuk penghinaan. “Apa maksudnya mengirimkan tahi sapi ke rumahku. Aku tak pernah cari masalah sama dia. Awas aku akan membalasnya.” Kata-kata itu yang bisa jadi terlontar dari mulut orang yang berpikiran negatif. Lain halnya jika penerima kiriman itu berpikir positif. “Tetangga saya itu sangat menaruh perhatian. Mungkin dia melihat tanaman di kebun saya kurang subur dan perlu diberi pupuk. Makanya dia mengirim tahi sapi.”

Gede Prama mengingatkan jangan melihat pesaing atau orang yang membenci kita sebagi musuh, tetapi mereka adalah guru terbaik. Manusia dalam menjalani hidup diharapkan mengikuti mental pengusaha, teguh, dan ulet. Hambatan yang kerap dialami manusia biasanya dikarenakan selalu melihat kendala terlebih dahulu. “Kendala ini harus diubah menjadi kinerja. Di balik penolakan-penolakan itu, kita dituntut lebih kreatif,” ujarnya.

Untuk mencapai suatu keberhasilan, Gede Prama memberikan 4 kunci yakni aspirasi, kebiasaan, konsistensi, dan komitmen. Semua bermula dari aspirasi. Dari aspirasi ini, jika ditekuni (kebiasaan) akan menumbuhkan potensi. Dan, jika dijalani dengan konsisten dan komitmen yang kuat, niscaya mencapai keberhasilan.
Posted:
Drs. I Gusti Ngurah Dwaja
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda: Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB Drs. I Gusti Ngurah Dwaja ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kes...

Senin, 10 Juni 2013

Ngurah Dwaja: “Cermin Kalah dan Menang”

Denmas Priyadi Blog│Kamis, 06 Juni 2013│16:31 WIB

Dursasana menarik kain penutup tubuh Drupadi
Di ruangan agung Kerajaan Astina, sebuah pesta besar sekaligus nasib tragis pernah berlangsung. Terlampau tragis bahkan, hingga mengubah sepenuhnya masa depan negeri ini. Pesta itu memang telah usai. Meninggalkan ruangan yang kini lengang. Hanya angin Sesekali terdengar mendengung di lorong-lorongnya yang dingin dan sunyi. Selebihnya adalah bayangan mencekam di antara pilar-pilar marmer yang meninggi itu. Meja kecil dengan batu dadu itu masih dibiarkan tergeletak di situ. Kursi dan botol-botol anggur kosong berhamburan di balkon. Sedang di lantai tengah, jejak-jejak kaki dan ceceran keringat masih membekas dalam debu. Juga bayangan tawa Dursasana yang aneh itu. Di situlah, beberapa waktu lalu, di tengah keramaian pesta kerajaan, Dursasana dengan nafas tersengal dan tawa menyeringai oleh birahi berusaha merenggut dan menelanjangi Drupadi.
 
“Yudistira telah mernpertaruhkan Drupadi dan ia kalah. Perempuan ini sekarang jadi budak kami dan kami bebas memperlakukannya kata Dursasana”. Bau alkohol menyengat mulutnya. Matanya memerah. Ia yang terhuyung-huyung karena mabuk terus berusaha melucuti kain di pinggul Drupadi yang pasrah. Di bawah tatapan para bangsawan yang hadir, Drupadi dipertaruhkan sekaligus dinista. Puncaknya, di sini hak-hak Pandawa atas Astina dirampas Kurawa.

Memang banyak hal muram hadir dalam Mahabharata, banyak hal ganjil bersuara dan sana. Tetapi yang paling getir tentu apa yang telah berlangsung di ruangan ini. Anak-anak Pandawa, yang cerdas dan menjunjung nilainilai kebenaran serta sifat-sifat ksatria, harus berhadapan dengan kenyataan pahit, mereka kalah dalam pertaruhan judi lalu kehilangan segalanva serra disingkirkan ke dalam pemhuangan 13 tahun di hutan. Sejumlah pertanyaan sempat menggantung di sana yang tak mudah dicarikan jawaban: Apa yang membuat Yudhistira rela mempertaruhkan masa dan saudara-saudaranya di meja dadu yang tak lebih lebar dari satu meter persegi itu? Atau sekalipun sebagai saudara sulung, berhakkah ia bertindak sejauh itu, bahkan menjadikan Drupadi sebagai taruhan? Adakah ia membayangkan kemenangan dalam judi itu yang akan memberinya kesejahteraan atau kehormatan? Entahlah! Bahkan para orang tua yang menyaksikan peristiwa itu tak ada yang mampu memberi jawab. Mereka hanya tertunduk, terkubur dalam perasaan tak terlukiskan, sebagaimana Kunti, Drestarasta, atau Widura. Kecuali Bima yang menunjukkan ketidaksukaannya atas permainan yang dirancang Sakuni itu. Maka ketika Kurawa mempermalukan dan menelanjangi Drupadi, putri terhormat dari Pancala itu, Bima tak bisa lagi menahan diri. Dia turun ke gelanggang dan meradang dengan sumpahnya,
 “Hai, Duryudana, Dursasana, Sakuni, kalian boleh menang taruhan dan mengambil negeri ini, tapi apa hakmu menghina Drupadi? Dengar, aku telah menyaksikan semuanya, dan di hadapan kalian kuucapkan sumpahku, kelak aku akan datang dengan pembalasan. Akan kurobek tubuhmu, dan kuminum darahmu......!”
Rupanya kehidupan telah memaksakan sisi nisbinya di sini. Karena itu Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa memilih diam. Juga Bhisma. Senapati agung nan bijaksana itu hanya memandang datar dari balkon dengan mulut terkatup terhadap semua hal yang berlangsung. Juga Durna. Tak ada yang dapat ia lakukan. Permusuhan antara Pandawa dengan Kurawa tampaknya telah tiba di puncak.

Ketika sebuah peristiwa terjadi, saat pilihan telah diambil, kita pun hanya bisa menunggu apa gerangan setelah itu. Maka Pandawa yang kalah harus segera angkat kaki, meninggalkan masa-masa indah di Astina menuju satu takdir baru: hidup dalam pengasingan. Sementara Duryudana dan saudara-saudaranya, bersama sang penasihat Sakuni, boleh merayakan kemenangan, dengan penuh suka-cita. Demikianlah satu babakan hidup berlangsung. Saat semuanya tiba, maka yang kemudian terlihat adalah ada yang keluar sebagai pemenang dan ada pula yang kalah. Hingga di bagian ini sepertinya tak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Mungkin mereka tahu kemenangan itu dicapai melalui cara yang curang. Tapi bagi yang memilih bertindak murni, seperti Yudhistira, juga sadar akan berhadapan dengan risiko: entah akhirnya menang atau kalah. Siapa yang tahu? Karena itu kita agak jadi mengerti kenapa Yudhistira memilih diam saat dikalahkan. Ia tak mempersoalkan bagaimana ia kalah. Ia memang bukan pemenang. Bahwa antara kalah dan menang itu kadang jaraknya sedemikian tipis, sekalipun tak juga mudah buat digenggam. Tapi toh dengan demikian tak berarti segalanya telah berakhir. Tiga belas tahun selepas pesta judi di ruangan itu, dua keluarga keturunan Bharata ini, Pandawa dan Kurawa, dipertemukan kembali oleh takdir. Tidak dalam reuni keluarga tetapi di jalan yang pilu. Mereka harus saling angkat senjata dan baku bunuh, dalam perang saudara, perang Kuru, yang dikenal dengan Bharatayuda.  Kita kemudian paham perang itu pun ternyata bukan pertanda berakhirnya suatu riwayat. Sebab, sesudahya banyak hal tragis masih akan berlangsung. Mungkin karena itu, Astina dengan segala cekam misterinya, tetap hadir membayang di tengah kerajaan hidup kita hari ini. Darinya orang-orang dapat menilai sejenak tentang keteguhan hati, seperti Bhisma. Dengan kata lain, ini adalah soal risiko dan hikmah pilihan hidup. Sebelum perang pecah, Bhisma berkata kepada Drestarasta,
“Yudistira dan saudara-saudaranya akan memenangkan perang ini. Mereka dipayungi keberuntungan, sebab Pandawa meneguhkan kekuatannya dengan kebenaran dan keadilan, sesuatu yang tak pernah bisa dimengerti oleh Duryudana.......”

Di sana Bhisma hendak menegaskan bahwa sekalipun segalanya tampak nisbi, orang tetap perlu menggamit keyakinan tentang sesuatu sebagai pegangan hidup. Misalnya berteguh dengan nilai-nilai moral. Juga sebagaimana sikap yang diambil Bhisma dalam Bharatayudha:
”Orang seharusnya tetap menjadi ksatria meski tahu akan berada di pihak yang kalah”.
Bagaimana pun setiap peristiwa, setiap pergulatan, akan hadir dengan wajahnya yang subtil, tak pernah mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu satu kemenangan ternyata tak seluruhnya berarti menang, begitu juga dengan kekalahan. Bharatayuda memang kemudian berakhir. Dimenangi lima putra Pandu, Pandawa, yang mengantarkan Yudhistira memegang tahta Astina. Sedangkan Kurawa, keturunan Drestarasta, yang berjumlah seratus orang itu, karena itu ia jadi mayoritas, adalah pihak yang kalah. Duryudana, Dursasana dan Sakuni dirajam habis oleh Bima, sesuai sumpahnya dulu. Tapi setelah itu apa? Yang kita tahu, meski keluarga Kurawa, lambang sifat-sifat buruk manusia itu, tumpas dari Astina ternyata mereka tak serta merta kehilangan otoritasnya atas dunia kita. Sampai hari ini.
Penulis:
Ngurah Dwaja di SMAN 42
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Ngurah Dwaja: “Cermin Kalah dan Menang”: Denmas Priyadi Blog│Kamis, 06 Juni 2013│16:31 WIB Dursasana menarik kain penutup tubuh Drupadi Di ruangan agung Kerajaan Astin...