Wayang Orang Bharatha |
REPUBLIKA.CO.ID,
Manorek Sinar Rahayu merupakan seni pertunjukan rakyat ‘wayang orang’ yang
selalu membawakan cerita tentang sejarah Islam pada zaman Nabi Adam, seperti
Umar-Amir misalnya. Namun sayang, grup kesenian Manorek yang didirikan Jimat
(llm) pada 1913, di Desa Sindanghayu, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis
ini ‘tidur pulas’ dalam keterbatasannya.
Balai Pengelolaan Taman Budaya Jabar melalui program revitalisasi seni tradisionalnya, mencoba untuk membangunkan kembali kesenian Manorek Sinar Rahayu itu. Pada Mei 2015 ini, kesenian itu akan ditampilkan dan diperkenalkan kembali kepada masyarakat di Kabupaten Ciamis dan di Taman Budaya Jabar. Adapun cerita yang akan dipentaskan adalah ‘Kendit Brayung’.
Pimpinan rombongan seni Manorek, Mukti Wibowo, mengatakan, keunikan seni Manorek ini yaitu semua pemainnya adalah laki-laki. Ini karena, pada masa itu (awal berdiri) budayanya masih ketat. Dia mencontohkan, kalau ada adegan pacaran atau bersentuhan antara laki- laki dengan seorang wanita, maka bakal kena aturan sara. “Pada masa itu, seluruh pemain berjumlah 25 orang dan 7 orang nayaga, perkecualian hanya sinden saja yang wanita,” ujarnya.
Kala itu, kata Mukti mengisarkan, Jimat terus menggali potensi dirinya dan lingkungan yang mendukung terhadap seni ini, termasuk juga potensi pasar. Maka, sekitar1960, ia pun mulai memasukkan pemain perempuan dengan jumlah 9 orang. Pemain ini berasal dari Desa Sukajadi sebanyak 7 orang dan 2 orang dari Jawa Tengah. “Dan disinilah proses akulturasi terjadi, baik dalam bahasa, karawitan, atau pun tarian,” katanya.
Walaupun demikian, penggunaan bahasa Jawa terasa masih sangat kental, karena mayoritas pemainnya berasal dari Jawa Tengah yang pindah dan menetap menjadi penduduk Jabar. Selain itu, peminat terhadap kesenian ini adalah mayoritas orang Jawa yang tinggal di Jabar. Terbukti di 1972, satu bulan penuh terjadi 27 kali pentas, yaitu di daerah Banjasari, Desa Cangkring, Desa Padaherang, Munjul, dan antarprovinsi.
Dikatakannya, setiap kali diadakan pementaran, peralatan yang digunakan dalam penampilan wayang orang Manorek ini adalah kendang, kenong, gambang, saron besar, saron kecil, peking, gender, goong, layar, dan lampu patromak. Namun, pada masa itu, alat pengangkutan untuk acara pementasannya dilakukan dengan cara sederhana, yaitu mengunakan roda yang ditarik oleh manusia atau mengunakan pemikul (kata orang Sunda pake rancatan).
Ini, kata Mukti, karena belum banyak kendaraan sepeti sekarang ini. Tapi, acara tetap berjalan lancar karena dilakukan dengan kekeluargaan dan gotong royong yang masih kuat. “Jadi, kalau tempat acaranya jauh maka biasanya alat- alat dibawa sehari sebelumnya, sedangkan semua pemain berjalan kaki untuk acara pementasan,” ujarnya. Betapa sederhananya seniman di zaman dahulu, maka betapa mulianya para seniman zaman dahulu untuk menjaga dan mempertahankan aset kesenian warisan nenek moyang.
Beberapa ceritra yang biasa dibawakan dalam seni Manorek yaitu Kendit Brayung, Centan Sewu, Raja Jubin Balik, Umar Maya Ulang Kasang NM (Umar Jam Pengemis), Gonggo Mino Gonggo Pati, Bentel Kusumo Bentel Mukadas, Roso Wati Roso Kusumo, dan Jiweng Jadi RA HI. Pada setiap cerita yang dibawakan, kata Agustinus, sutradara seni Manorekmaka, para pemain atau wayang, nayaga, dan sinden dalam kesenian ini, harus bisa selaras mengikuti alur tema dalam ceritra tersebut.
“Pemain harus mengusai akting peran,” katanya. Dia mencontohkan, tokoh seorang Raja itu watak dan nada pembicaraannya harus gagah berani sesuai dengan kerjaannya, dan sebagainya. Adapun tarian yang biasa diperankan oleh para Raja dalam kesenian Manorek, yaitu tarian Blendrong Solo atau tarian Rincik-Rincik, sedangkan tarian untuk para ponggawa yaitu tarian Bribil, dan untuk tarian Adipati Umar Maya yaitu tarian Eling-Eling.
Semua tarian itu diiringi oleh gamelan. Namun anehnya, para pemain, nayaga, dan sinden sudah tidak asing lagi atau tidak ragu dalam mengiringi ceritra yang dipentaskan. Untuk memberi ‘tabu’ atau berganti adegan dalam kesenian ini, digunakan sebuah alat yang bernama kohkol kecil. “Dengan teknik yang sederhana dan alat yang masih konvensinal kesenian ini dapat menghibur orang, dan mempunyai harga jual yang tinggi,” ujar Agustinus.
Seni Manorek pasca-Jimat
Semenjak 1974, kesenian Manorek diwariskan dari Jimat kepada menantunya Mingin. Di masa periode ini, kesenian Manorek kurang berkembang, dan entah apa penyebabnya. Kurang lebih dua tahun lamanya Mingin menjadi pimpinan rombongan. Tidak lama kemudian, Mingin pun meninggal dunia. Sepeninggalnya kesenian ini semakin menurun, walaupun posisi pendiri masih ada yaitu Jimat, tapi dalam kondisi yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan kesenian ini karena terserang penyakit gula basah. Kurang lebih dua tahun semenjak meninggalnya Bapak Mingin akhimya bapak Jimat pun meninggal dunia.
Di tahun 1980 keponakan Jimat yang Mukti Wibowa mengambil alih kepeminpinan kesenian Manorek ini. Ia bukan seorang seniman, tetapi memiliki jiwa kepeminpinan yang tinggi, hal ini berdampak pada proses perkembangan kesenian. Manorek yang mulai ada kemajuan. Upaya yang dilakukannya adalah mengolaburasikan seni Manorek dengan seni Ketoprak, karena permintaan pasar terhadap kesenian Ketoprak lebih banyak dibandingkan dengan permintaan kesenian Manorek.
Bukti kesenian Manorek Jimat ada kemajuan, yaitu dengan adanya pementasan dalam acara hajatan atau sukuran. Di bawah ke peminpinan Mukti seni Manorek Sinar Rahayu semakin maju, baik dalam segi permintaan pasar maupun dalam sarana penunjang pentas, terutama alat-alat penunjang seperti; dekor, alat sound sistem, ,juga lampu.
Puncak acara di zaman Mukti yaitu dari 1992 sampai 2002, dalam satu bulan terjadi 19 sampai 25 kali pentas. Pentas tersebut tersebar di berbagai daerah, ada yang pentas di Banjarsari, Padaherang, Langkaplancar„ Ciamis, Bandung, dan di daerah Jawa Tengab yaitu di daerah Siderja, Cilacap, Patimuan sampai ke daerah Wangon dan Gombong. Kenapa demikian?, karena ada dukungan dari Pemerintah Daerah di 198,0 semua anggota Manorek diwajibkan untuk mengikuti penataran atau kursus seni teater.
Namun demikian, sejak 2002 sampai 2004, kesenian tradisional ini kembali mengalami kemunduran. Bahkan samapai sekarang tetap “tertidur pulas”, karena pasar untuk kesenian Manorek menurun, kalah saingan dengan kesenian yang lain, seperti; Kuda Lumping, Pongdut., dan lainnya. Selain masalah pasar, dikarenakan kurang pedulinya sentuhan dari pemerintah untuk mempertahankan aset kesenian dan kebudayaan daerah.
“Namun, alhamdulillah di 2015 ini, tepatnya Januari, Balai Pengelolaan Taman Budaya membangunlcan kesenian Manorek Sinar Rahayu yang lagi tidur, yaitu dengan cara memberikan bantuan dana untuk pembinaan rombongan, baik para pemain atau para nayaga,” ujar Mukti . Bahkan pada Mei ini, setelah melalui proses panjang dalam kegiatan revitalisasi seni tradisi, maka kesenian Manorek akan dipentaskan di Kabupaten Ciamis dan di Taman Budaya. Adapun cerita yang akan dipentaskan adalah ‘Kendit Brayung’.
Balai Pengelolaan Taman Budaya Jabar melalui program revitalisasi seni tradisionalnya, mencoba untuk membangunkan kembali kesenian Manorek Sinar Rahayu itu. Pada Mei 2015 ini, kesenian itu akan ditampilkan dan diperkenalkan kembali kepada masyarakat di Kabupaten Ciamis dan di Taman Budaya Jabar. Adapun cerita yang akan dipentaskan adalah ‘Kendit Brayung’.
Pimpinan rombongan seni Manorek, Mukti Wibowo, mengatakan, keunikan seni Manorek ini yaitu semua pemainnya adalah laki-laki. Ini karena, pada masa itu (awal berdiri) budayanya masih ketat. Dia mencontohkan, kalau ada adegan pacaran atau bersentuhan antara laki- laki dengan seorang wanita, maka bakal kena aturan sara. “Pada masa itu, seluruh pemain berjumlah 25 orang dan 7 orang nayaga, perkecualian hanya sinden saja yang wanita,” ujarnya.
Kala itu, kata Mukti mengisarkan, Jimat terus menggali potensi dirinya dan lingkungan yang mendukung terhadap seni ini, termasuk juga potensi pasar. Maka, sekitar1960, ia pun mulai memasukkan pemain perempuan dengan jumlah 9 orang. Pemain ini berasal dari Desa Sukajadi sebanyak 7 orang dan 2 orang dari Jawa Tengah. “Dan disinilah proses akulturasi terjadi, baik dalam bahasa, karawitan, atau pun tarian,” katanya.
Walaupun demikian, penggunaan bahasa Jawa terasa masih sangat kental, karena mayoritas pemainnya berasal dari Jawa Tengah yang pindah dan menetap menjadi penduduk Jabar. Selain itu, peminat terhadap kesenian ini adalah mayoritas orang Jawa yang tinggal di Jabar. Terbukti di 1972, satu bulan penuh terjadi 27 kali pentas, yaitu di daerah Banjasari, Desa Cangkring, Desa Padaherang, Munjul, dan antarprovinsi.
Dikatakannya, setiap kali diadakan pementaran, peralatan yang digunakan dalam penampilan wayang orang Manorek ini adalah kendang, kenong, gambang, saron besar, saron kecil, peking, gender, goong, layar, dan lampu patromak. Namun, pada masa itu, alat pengangkutan untuk acara pementasannya dilakukan dengan cara sederhana, yaitu mengunakan roda yang ditarik oleh manusia atau mengunakan pemikul (kata orang Sunda pake rancatan).
Ini, kata Mukti, karena belum banyak kendaraan sepeti sekarang ini. Tapi, acara tetap berjalan lancar karena dilakukan dengan kekeluargaan dan gotong royong yang masih kuat. “Jadi, kalau tempat acaranya jauh maka biasanya alat- alat dibawa sehari sebelumnya, sedangkan semua pemain berjalan kaki untuk acara pementasan,” ujarnya. Betapa sederhananya seniman di zaman dahulu, maka betapa mulianya para seniman zaman dahulu untuk menjaga dan mempertahankan aset kesenian warisan nenek moyang.
Beberapa ceritra yang biasa dibawakan dalam seni Manorek yaitu Kendit Brayung, Centan Sewu, Raja Jubin Balik, Umar Maya Ulang Kasang NM (Umar Jam Pengemis), Gonggo Mino Gonggo Pati, Bentel Kusumo Bentel Mukadas, Roso Wati Roso Kusumo, dan Jiweng Jadi RA HI. Pada setiap cerita yang dibawakan, kata Agustinus, sutradara seni Manorekmaka, para pemain atau wayang, nayaga, dan sinden dalam kesenian ini, harus bisa selaras mengikuti alur tema dalam ceritra tersebut.
“Pemain harus mengusai akting peran,” katanya. Dia mencontohkan, tokoh seorang Raja itu watak dan nada pembicaraannya harus gagah berani sesuai dengan kerjaannya, dan sebagainya. Adapun tarian yang biasa diperankan oleh para Raja dalam kesenian Manorek, yaitu tarian Blendrong Solo atau tarian Rincik-Rincik, sedangkan tarian untuk para ponggawa yaitu tarian Bribil, dan untuk tarian Adipati Umar Maya yaitu tarian Eling-Eling.
Semua tarian itu diiringi oleh gamelan. Namun anehnya, para pemain, nayaga, dan sinden sudah tidak asing lagi atau tidak ragu dalam mengiringi ceritra yang dipentaskan. Untuk memberi ‘tabu’ atau berganti adegan dalam kesenian ini, digunakan sebuah alat yang bernama kohkol kecil. “Dengan teknik yang sederhana dan alat yang masih konvensinal kesenian ini dapat menghibur orang, dan mempunyai harga jual yang tinggi,” ujar Agustinus.
Seni Manorek pasca-Jimat
Semenjak 1974, kesenian Manorek diwariskan dari Jimat kepada menantunya Mingin. Di masa periode ini, kesenian Manorek kurang berkembang, dan entah apa penyebabnya. Kurang lebih dua tahun lamanya Mingin menjadi pimpinan rombongan. Tidak lama kemudian, Mingin pun meninggal dunia. Sepeninggalnya kesenian ini semakin menurun, walaupun posisi pendiri masih ada yaitu Jimat, tapi dalam kondisi yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan kesenian ini karena terserang penyakit gula basah. Kurang lebih dua tahun semenjak meninggalnya Bapak Mingin akhimya bapak Jimat pun meninggal dunia.
Di tahun 1980 keponakan Jimat yang Mukti Wibowa mengambil alih kepeminpinan kesenian Manorek ini. Ia bukan seorang seniman, tetapi memiliki jiwa kepeminpinan yang tinggi, hal ini berdampak pada proses perkembangan kesenian. Manorek yang mulai ada kemajuan. Upaya yang dilakukannya adalah mengolaburasikan seni Manorek dengan seni Ketoprak, karena permintaan pasar terhadap kesenian Ketoprak lebih banyak dibandingkan dengan permintaan kesenian Manorek.
Bukti kesenian Manorek Jimat ada kemajuan, yaitu dengan adanya pementasan dalam acara hajatan atau sukuran. Di bawah ke peminpinan Mukti seni Manorek Sinar Rahayu semakin maju, baik dalam segi permintaan pasar maupun dalam sarana penunjang pentas, terutama alat-alat penunjang seperti; dekor, alat sound sistem, ,juga lampu.
Puncak acara di zaman Mukti yaitu dari 1992 sampai 2002, dalam satu bulan terjadi 19 sampai 25 kali pentas. Pentas tersebut tersebar di berbagai daerah, ada yang pentas di Banjarsari, Padaherang, Langkaplancar„ Ciamis, Bandung, dan di daerah Jawa Tengab yaitu di daerah Siderja, Cilacap, Patimuan sampai ke daerah Wangon dan Gombong. Kenapa demikian?, karena ada dukungan dari Pemerintah Daerah di 198,0 semua anggota Manorek diwajibkan untuk mengikuti penataran atau kursus seni teater.
Namun demikian, sejak 2002 sampai 2004, kesenian tradisional ini kembali mengalami kemunduran. Bahkan samapai sekarang tetap “tertidur pulas”, karena pasar untuk kesenian Manorek menurun, kalah saingan dengan kesenian yang lain, seperti; Kuda Lumping, Pongdut., dan lainnya. Selain masalah pasar, dikarenakan kurang pedulinya sentuhan dari pemerintah untuk mempertahankan aset kesenian dan kebudayaan daerah.
“Namun, alhamdulillah di 2015 ini, tepatnya Januari, Balai Pengelolaan Taman Budaya membangunlcan kesenian Manorek Sinar Rahayu yang lagi tidur, yaitu dengan cara memberikan bantuan dana untuk pembinaan rombongan, baik para pemain atau para nayaga,” ujar Mukti . Bahkan pada Mei ini, setelah melalui proses panjang dalam kegiatan revitalisasi seni tradisi, maka kesenian Manorek akan dipentaskan di Kabupaten Ciamis dan di Taman Budaya. Adapun cerita yang akan dipentaskan adalah ‘Kendit Brayung’.
Redaktur : Agus Yulianto
|