Denmas Priyadi Blog│Minggu, 19 Mei 2013│17:02 WIB
Aswighram astu I
|
Hendaknya tak
ada bahaya merintangi I
|
1.
Sang curamrih ayajna ring samara mahyun i
hilanganikang parangmuka. Lila kembang ura sekar taji ni kecaning ari pejah
ing rannanggana. Urnnaning ratu mati wijanira kunnddanira nagaraning
sucramenggala.
|
1.
Sang pahlawan ingin bersaji dan bertujuan untuk
membinasakan musuhnya. Yang merupakan taburan bunga yang indah adalah untaian
bunga di atas rambut yang gugur di medan perang. Urna hiasan manikin di dahi
raja yang telah meninggal merupakan (taburan) beras persajian; Negara musuh
yang terbakar adalah tempat api persajian. Yang disajikan ialah kepala musuh
yang telah terpenggal di atas keretanya, setelah bertempur tidak mengenal mundur di medan peperanga.
|
2.
Dah samangkana kastawanira tekeng tri bhuwana
winuwus jayeng ranna. Kapwasabda bhattara Jayabaya panenggahing sarat.
Manggen sampun inastwaken sujana wara reshi caiwa sogata.
|
2.
Maka dari itulah sebab sang raja terkenal,
sehingga oleh dunia tiga buwana ia dianggap sebagai pemenang. Musuh yang
telah dikalahkan menamakan sang raja itu seorang raja dewa. Hal ini telah
tersebar dimana-mana, maka oleh dunia Ia disebut “Yang dipertuan raja
Jayabaya”. Ia telah diakui dengan tetap oleh orang-orang pandai, orang-orang
berahmana yang terkenal (terkemuka) dan oleh orang-orang pendeta dari
golongan Ciwa dan Buddha.
|
3.
Ngka rakwan tumurun bhattara Girinatha lawan
amarasangha len reshi. Yatna cri pamaca mamurshita mangarggha ri sira saha
citta nirmala. Yekan thustta manah bhattara muwuwun haji Jayabhaya haywa
sangcaya. Tatan krodha ketaku yak para sukasunga wara karannanta
digjaya.
|
3.
Pada waktu itu konon dikatakan, bahwa dewa Ciwa
dengan diantarkan oleh segerombolan dewa dan resi turun di dunia. Sang raja
berusaha menyongsongnya dan member penghormatan kepada sang dewa yang
dianggap sebagai Kesucian yang tidak terperikan. Maka sang Siwa sangat
gembira hatinya dan bersabda: “Wahai raja Jayabhaya, janganlah kamu takut.
Saya tidak dating karena marah, melainkan dating untuk member anugerah supaya
kamu jadi pemenang di sepuluh langit”.
|
4.
Tanggap tosen anugrahangkwa ri wewangku Jayabhaya
rengon iking praja. Swastyastu prabhu cakrawarttya kita ring sabhuwana jaya
catru ring musuh.tekwan langgenga satmakanaku lawan kita tulusa bhattara ning
jagat. Nahan cabdani ratereh telas inastwakenira reshi-sangha ring
langit.
|
4.
Terimalah anugerah saya, yang saya berikan kepada
anakda, raja Jayabhaya! Hendaknya ini didengarkan oleh seluruh Negara. Berbahagialah
kamu sebagai raja dan jadilah raja besar di dunia dan mengalahkan musuh.
Kecuali itu, hendaknya tetap bersatu jiwamu dengan saya: “langsunglah kamu
menjadi dewa di dunia”. Demikian kata
dewa Ciwa dengan tandas: “hal ini telah dusetujui oleh gerombolan orang resi di angkasa”.
|
5.
Sampun mangkana sukhmarehnira
bhattara telasira maweh anugraha. Tan dwanut samusuh narecwara padda prannata
teko ri Hemabhupati. Enak tandelireng sarat maling aweh ri cakti sang prabhu.
Anghing tan wedi sabsabing wang ahajeng teka sumilib I tambwanging wulan.
|
5.
Setelah dewa Syiwa member
anugrah, dewa Syiwa itu sesuai dengan tabiatnya menghilang.
Semua musuh raja Jayabaya kemudian tunduk dan bersembah kepadanya, bahkan
juga raja Sumatera. Seluruh dunia menjadi tenteram dan percaya kepadanya;
tidak ada pencuri lagi, karena mereka telah lari, takut akan kesaktian sang
raja. Tetapi mereka yang mencuri orang perempuan yang indah (tetap) tidak
takut; pada waktu bulan purnama mereka berkelilingan secara diam-diam.
|
6 . Nahan dong empu seddah
makirrtya caka-kala ri sanga kuda cuddha candrama.
Sang sakshat Harimurtti yan
katiga nitya makapalana kecaning musuh.
Sang Iwir Lek pratipada cukla
pinalakwan ahuripa wijilnireng ripu.
Ring prang darppa Pacu
prabhupamanirahyun i kadungulaning parangmuka.
|
6.
demikianlah yang menjadi tujuan
empu Seddah ketika ia berjasa dengan membuat cerita sejarah pada tahun Caka
Sanga Kuda Cuddha Candrama.
Sang raja mempunyai rupa seperti dewa matahari pada musim kemarau dan
pelananya berupa rambut musuh dan mempunyai rupa seperti bulan pada waktu
paro putih; ia selalu diminta untuk menyelamatkan hidup anak dan keturunan
musuhnya.
|
7. Byaktacamana pada-pangkaja
bhattara Ciwa marang umastawa sira.
Yogyan manggalaning miket
prangira Panddawa makalaga Korawecwara.
Ndan duran kawacahalib kadi
sereh pamahugi mahapu susuh geseng.
Manggeh tan seddepanya ring
waja tuhun palaren amanguna ngresing hati.
|
7.
jelaslah bahwa jika orang
bersembah kepada kakinya yang bersifat bunga teratai, persembahannya itu sama
dengan bersembah kepada sang Syiwa.
Alangkah baiknya apabila yang tersebut di atas itu dipergunakan sebaggai
pendahuluan membuat pujian tentang peperangan antara orang-orang Pandawa
melawan raja Kurawa.
Sangat sukarlah untukku menulisnya; tidak mungkin (rasanya) karena
pekerjaan ini menyerupai suguhan daun sirih yang berkapur rumah siput yang
gosong waktu dibakar.
Sungguh tidak enak rasanya untuk gigi; walaupun demikian akan diusahakan
juga supaya (cerita ini)dapat membangkitkan rasa pilu dalam hati.
|
8. Nguni kala nararyya Khresnna pinakacra
yanira naranatha Pannddawa.
Sinwikara kinon lumakwa
ddatengeng Kurupatimangaran Suyodhana.
Tan len denaniramalakwa ri
kapaliha ni pura nararyya Pannyapwan pasraha tuta rakwa yadi tan pasunga
karannaning prang adbhuta.
|
8.
Dahulu kala Kreshna diminta
pertolongannya oleh raja Pandawa. Ia didesak untuk pergi ke raja Kurawa yang
bernama Suyodhana. Tujuannya tidak lain ialah membagi dua Negara untuk raja
Pandawa.
Jika ini dikabulkan aka nada damai, tetapi apabila ini tidak dikabulkan
akan menimbulkan perang dahsyat.
|
9.
Ndah mangkat sira cighra sangka
ri Wiratta dinuluring anama Satyaki.
Enggal prapta tekap ni cakti ni
turangganira pinndda manglayang.
Kongang decanikang
Gajahwaya-purahawuk inemuka ing hudan riwut.
Oruk warnnani wannddiranya kadi
coka makemul I paninggaling priya.
|
9.
Maka dari itu raja Kreshna pergi dengan segera
dari Wirata dengan diantar oleh Satyaki. Karena kesaktian kudanya yang
seolah-olah terbang di angkasa, dengan segera ia dating. Negeri Gajahwaya
(Hastinapura) dengan kotanya tampak di mata, tetapi agak samar-samar karena
tertutup oleh hujan lebat. Pohon beringin cemas, seolah-olah susah seperti
orang perempuan yang berselimut (karena susah) ditinggalkan oleh kekasihnya.
|
10.
Puncak-puncak i gopuranya hatur
anghadddanga ri sira mungwa ring henu.
Kadyagya ri teka Janarddana
panambay i patapanikangawe katon.
Warnnanambaha pangnikang
bhujaga-pushpa mageyuhan umimba kanginan.
Sakshat lakhsmyanikang puri
Kuru
matakwana ri milu nuraryya
Pannddawa
|
10.Puncak gapura seolah-olah menunggu kedatangannya di tepi jalan
dan sinarnya kelihatan seolah-olah melambai untuk mempercepat kedatangan raja
Kreshna. Dahan-dahan pohon nagasari yang oleh tiupan angin bergerak-gerak
seolah-olah memberi sembah. Pohon-pohon itu seolah-olah berupa orang-orang
perempuan yang elok di kota raja Kurawa dan menanyakan tentang ikut sertanya
raja-raja Pandawa.
|
11.
Ndan bhagnan kari
panndduputra ri Wiratta tekapira nararyya Kecawa.
Yekan coka
langonikang hewan akunnddah anangis asekel cucurnika.
Mangka jring
malume ddawuh puddak i pannddan ika maki lusu haneng watu.
Ho hoh cabdaninikang
walik taddahasih padda manangis i pangnikang tahen.
|
11.Tetapi merekaitu kecewa, sebab atas permintaan raja Kresna
putera-putera Pandawa tinggal di Wirata. Maka dari sebab itu keindahan di
jalan-jalan menjadi susah dan gundah; burung-burung cucur menangis
tersedu-sedu. Pada waktu itu pohon jering menjadi layu, sedangkan bunga pudak
runtuh dari pohon pandan yang melaju di atas batu. “Heh, heh” demikianlah
bunyinya burung walik, sedangkan burung kedasih menangis di atas dahan-dahan
pohon.
|
12.
Kapwaca
lengenging Gajahwaya ri tan padulurira nararyya Pannddawa.
Honya n campaka
manglugas kusuma paksha malabuha jurangikang parung.
Lampus tanjung
ikangenes layat agantungan i panawanging jaring-jaring.
Tan patma
bhramarakusanangisi laywaning asana manutryyaking banu.
|
12.Segala
keindahan di Astina bersusahhati, karena raja-raja Pandawa tidak ikut. Ada
beberapa pohon cempaka yang menanggalkan bunga-bunga, karena dengan paksa
ingin menjatuhkan diri di dalam jurang yang dalam. Pohon tanjung mati, karena
sangat susah; bunga-bunganya runtuh dan bergantungan dijaring laba-laba.
Lebah yang tidak bersemangat menjadi susah dan menangisi bunga-bunga angsana
yang laju dan terbawa oleh ombak air.
|
13.
Mangka nyasa ni
pancuranyapadda coka ri tayanira sang Dananjaya.
Hyangnyalek
magegeh mulat kapenetan ri kapati ni lumutnikang watu.
Sangsara ng
karacakecap mulat i mannddaganika ri pipinya tan padon.
Kares-res ni susuhnya
mati manulad tiwa-tiwa ni mukarjjuneng cilla.
|
13.Pada waktu itu
balai kambang yang memancurkan air (merasa) susah, karena Dhananjaya (Arjuna)
tidak ada. Dewa (yang berkuasa di tempat tersebut merasa cemas) tercengang
dan terkejut, karena melihat lumut-lumut di atas batu mati. Dengan susah hati
siput-siput masuk dan keluar dari rumah siputnya dan melihat, bahwa boreh di
atas pipinya itu tidak berfaedah. Karena kesusahan hati siput-siput itu
meninggal dan tindakannya itu menyerupai upacara pembakaran mayat di depan
muka sang Arjuna yang digambarkan di atas batu.
|
14.
Tan mangka
kalakonikang rawa-rawa n masemu lumihat ing wwanging sabha.
Tiranyapned
arajasakayu suwarnna welas-arepikagelang kuning.
Mangka
tunjungikasekar wali pingul-pingulanika paddapajeng pingul.
Sarwwecchan
pachuring suhun bras ika yan pabanu-banu manganti ring renek.
|
14.Keindahan
rawa-rawa tidak serupa biasa pada waktu melihat orang-orang yang berkumpul di
tempat permusyawaratan. Tepinya sangat indah dengan bunga-bunga rajasa dan
bunga emas yang menimbulkan rasa kasihan, karena rupanya kuning seperti
gelang tembaga. Begitu pun keadaannya bunga tunjung yang setelah terbuka
kemudian tertutup lagi; tertutupnya itu seperti payung yang ditutup. Sangat
indahlah suara curing seperti bunga suhun beras (memakai kembang), yang
menunggu di tepi rawa untuk mandi.
|
15.
Singgih ya
maparek purangjrah ahalep-halep anulari rehnikang henu.
Bannanyasuragatulis
makalasa baritu wunnika sinang rateng.
Mangka tingkah i
padmaraganika sahya sasekar apajeng-pajeng dadu.
Tan pacri teka
ring petung gadding ebunya padda tumut apawwahan gadding.
|
15.Sungguhlah indah, ketika ia mendekati kota, karena ia memberikan
keelokannya kepada segala yang berkumpul ada di jalan. Pohon bana merupakan
bantal yang disulam dan mempergunakan
tikar yang beraneka warna. Buah wuni kemerah-merahan karena telah masak. Begitu
pula bunga padma yang merah, karena berkembang indah bunganya menyerupai
payung merah tua. Pohon bambu kuning kehilangan indahnya, begitu pula sama
keadaannya dengan tunas-tunas muda yang berbuah gading.
|
16.
Iwir tan wruh
ring unadhikangalasa pinndda bisu tuli watunya ring jurang.
Honnya ng kumbang
i kembanging rangin adoh wruha ri resep i pushpaning seddah.
Anggeng cengga
manuknya codda nacad ing syung atuha ri kalangwaning wukir.
Tekwan tan kahananwelas-arep
ulah ni sepahanika tan lumis mata.
|
16.Rupa-rupanya
hutan itu tidak mengetahui keadaan, batu-batu di jurang seolah-olah tidak
dapat berbicara dan tuli. Ada beberapa kumbang di atas bunga rangin karena
agak jauh tempatnya untuk dapat melihat keindahan bunga sirih. Burung Cengga
terus menerus berbunyi, sedangkan burung coda mencela burung beo, karena ia
mengira merupakan puncak dari keindahan bukit. Keindahan sepahan sirih sangat
menyedihkan, sehingga ia tidak menghiraukan sesuatu hal.
|
Sumber:
Prof.
Dr. R.M. Sutjipto Wirjosupatro:
“Kakawin Baratha-Yuddha” Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1968 – Penerbit
Bhratara – Jakarta.
Posted:
Slamet
Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor