Rabu, 17 April 2013

Mengenang Sosok Ki Hajar Dewantara (Mei 1889-April 1959) By Slamet Priyadi

Denmas Priyadi Blog│Kamis, 18 April 2013│08:05 WIB
Ki Hajar Dewantara masa muda ( 2 Mei 1889-26 April 1959)
SETIAP tahun pada tanggal 2 Mei, Institusi Pendidikan, khususnya di jajaran Kemendiknas secara nasional memperingati “Hari Pendidikan Nasional”. Pertanyaannya adalah mengapa peringatan Hari Pendidikan Nasional itu diperingati pada 2 Mei?  Jawabannya tentu kita sudah tahu. Akan tetapi mungkin saja di antara kita banyak yang sudah lupa atau bahkan mungkin tidak tahu dan tidak mengenalnya siapa sosok Ki Hajar Dewantara.
Nah, melalui tulisan inilah saya berupaya untuk membangkitkan kembali ranah kognitif kita memunculkan kembali ingatan kita pada sosok Ki Hajar Dewantara yang fenomenal itu. Tentu saja dalam rangka menghormati, mengenang jasa, dan meneladani sepak terjang serta perjuangan beliau yang begitu keras bagi kemajuan bangsa Indonesia khususnya dalam dunia Pendidikan Nasional kita.
Menurut sejarahnya, Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kota budaya yang dikenal juga dengan sebutan kota pelajar, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ayahnya adalah seorang Pangeran bernama “Pangeran Suryaningrat” putra Paku Alam ke-4 dari Yogyakarta.   
Selepas lulus sekolah dasar Belanda “ELS” ( Europesche Largere School ), beliau melanjutkan ke Sekolah Guru juga ke STOVIA. Akan tetapi di sekolah ini Ki Hajar Dewantara tidak bisa menyelasaikan studinya sampai selesai karena bea siswa yang diperolehnya dihentikan alias dicabut karena gagal dalam mengikuti ujian kenaikan tingkat. 
Pelajaran yang bisa kita peroleh dari keteladanan beliau adalah pada sikap tegar tak kenal putus asa, meskipun beliau gagal dalam ujian, dan oleh karena itu pula bea siswanya  sampai dicabut atau dihentikan, beliau sama sekali tidak kecewa, tidak putus asa bahkan tetap tegar menghadapinya. Hal ini dibuktikannya dengan aktif dalam kegiatan menulis yang lebih intens dalam organisasi pergerakan pemuda yang sebelumnya memang sudah digelutinya. 
Beberapa tulisan beliau banyak menjadi pembicaraan dalam mesyarakat, bahkan dua buah tulisannya yang berisi kritikan terhadap pemerintah Kolonial belanda mendapat perhatian khusus. Kedua tulisan itu diberi judul, “Als Ik Een NederlanderWas” (Seandainya Aku Seorang Belanda), dan “Een Voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, Namun Semua untuk Satu Jagad).  
Selain aktif menulis dan bekerja di sebuah Apotek Rathkamp, Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara pun aktif dalam berorganisasi. Beliau masuk organisasi “Boedi Oetomo” berada dalam divisi propaganda. Bersama-sama dengan Danudirja, Setyabudi, dan Cipto Mangunkusumo  mendirikan “IP” (Indische Partij di Bandung. 
Terlalu keras dan dianggap banyak menyulitkan pemerintah kolonial Belanda, ketiganya pun ditangkap dan diasingkan ke Negeri Belanda selama 6 tahun. Akan tetapi yang namanya Ki Hajar Dewantara memang memiliki sikap ketegaran yang luar biasa. Ia pantang menyerah dan terus berjuang keras membangun jiwa, membangun karakter bangsa. Di Negeri Belanda ini beliau memanfaatkan waktu luangnya dengan mengasah terus wawasan inteletualnya dengan belajar ilmu pendidikan sampai akhirnya memperoleh “Akta Guru Eopa” (Euroopeesche Akte).
Selepas pulang dari pengasingan selama 6 tahun dan memperoleh Akta Guru Eropa, Ki Hajar Dewantara mendarmabaktikan keilmuannya menjadi Guru di sekolah yang didirikan oleh sahabatnya Soeryopranoto. Di sekolah ini ia tetap berjuang keras untuk membangun jiwa, membangun karakter bangsa dengan berbagai pandangan-pandangan hidup dan pemikiran-pemikirannya yang berkait dengan karakter bangsa. Sampai pada akhirnya beliau Ki Hajar Dewantara mendirikan “Perguruan Nasiona Tamansiswa” (Onderwijs Institut Tamansiswa) pada tanggal 3 Juli 1922. 
Karena ketokohannya dalam dunia pendidikan menjadikan beliau, Ki Hajar Dewantara dipercaya dan ditunjuk menjadi salah satu anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) di era penjajahan Jepang. Beliau juga dipercaya terpilih sebagai Menteri Pengajaran Kabinet Pertama Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1945. Beliau, Ki Hajar Dewantara terus berkiprah, berjuang tak kenal lelah dan putus asa, membangun jiwa, membangun karakter bangsa lewat pendidikan hingga pada akhir hayatnya. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang sampai sekarang tetap terpatri di setiap jiwa para pemimpin dan teerutama para guru adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo” (di depan menjadi teladan), “Ing Madyo Mangun Karso” (di tengah membangun dan membangkitkan karsa), “Tut wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan semangat dan motivasi) Beliau, Ki Hajar Dewantara akhirnya menghembuskan nafas terakhir  pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Pemakaman Wijayabrata, Yogyakarta. Oleh karena jasanya Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional tahun 1959. Dan, hari lahirnya pun diperingati sebagai “HARI PENDIDIKAN NASIONAL”.
Sebagai rasa hormat dan sumbangsih penulis pada keteladan sikap, sepak terjang, dan perjuangan beliau serta untuk mengenang dan mengabadikan jasa-jasa beliau, penulis menciptakan satu lagu yang penulis beri judul “Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara”.
     
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara (Mei 1989-April 1959)
Karya: Drs. Slamet Priyadi
E = do
4/4 Moderato                                                             
Cipt: Drs. Slamet Priyadi
            __        __           __                  __
1  |  6  4  3  2  3  4  |  5  3  2  1  5  |  6  6 7  1  2  |  5  .  0
                                                                                
        Bapak  pendidikan     nasional  Ki  Hajar Dewantara
                    __         __           __          __             __
        5  |  5  4  3  2   3  4  |  5  3  2   1   1   5  |  6   6  7  1  3  |  2  .  0
                                                                                                       
           Berjuang keras membangun jiwa membangun karakter bangsa
                         __        __           __                  __
             1  |  6  4  3  2  3  4  |  5  3  2  1  5  |  6  6 7  1  2  |  5  .  0
                                                                                              
             Bapak Pendidikan     Nasional  Ki  Hajar Dewantara
                      __       __      __                     __
                     5 | 5 4 3  2  3 4 | 5 2 3  1 5 | 6 1 7  3 2 | 1  .  0
                                                                                                
                    Ajarannya menjadi  teladan bagi kita semua
      REFF REIN :
                            ___                               __       __     __
 1   7 | 6  5  3  1  |  5 . . 4 3 | 2 2 3 4 3 4 |  5  .  0
Ing ngarso sung tulododidepan menjadi teladan
                            ___                                  __         __       
 1  7 |  6   5    3  1  |  5 . . 4  3  | 2  3  4   6   4  |  5  .  0
                   Ing madyo mangun karso di tengah membangun karsa
                     __                                    ___               
 1  7 | 6  5  3  1 | 5 . . 4 3 | 2  4  6   4 |  5  .  0
Tutwuri handayani     dibelakang memberi
  __         ___    ___    __
4   3 | 2   2   3   4   3  4  7  |  1  .   0   ||
                                     
                  Dorongan smangat dan motivasi
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

BLOG SLAMET: "INILAH KARYAKU": Mengenang Sosok Ki Hajar Dewantara (Mei 1889-April...: Denmas Priyadi Blog│Kamis, 18 April 2013│08:05 WIB Ki Hajar Dewantara masa muda ( 2 Mei 1889-26 April 1959) SETIAP tahun pada t...

Selasa, 16 April 2013

Apresiasi Seni Rupa Untuk Guru dan Siswa



 Denmas Priyadi Blog ǀ Rabu, 17 April 2013 ǀ 07:26 WIB
Seni, Identitas, dan Mendeteksi yang Palsu
Oleh Aminudin TH Siregar )*

Aminudin TH Siregar ,S.Sn. ,M.Sn
KOMPAS.COM ǀ Senin, 7 Januari 2013 | 08:34 WIB - Cara kita mencipta, menulis, membicarakan, dan memahami seni di abad ini telah banyak berubah. Perubahan tersebut ditandai dengan pelbagai peristiwa di medan sosial seni global dengan kemunculan karya-karya yang senantiasa menantang batas-batas kemapanan paradigma seni sebelumnya.
Kenyataan semacam ini juga terjadi di Indonesia. Apa yang dipahami oleh S Sudjojono pada masa revolusi (”seni adalah jiwa kétok”) akan sangat berbeda dengan generasi seniman muda masa kini (”seni adalah kerja yang menyenangkan”; ”seni adalah main-main, asyik-asyik saja”). Sepintas rumusan seni Sudjojono—”seni adalah jiwa kétok” tidak berbeda jauh dengan rumusan gerakan Pujangga Baru yang mengatakan bahwa ”seni adalah gerakan sukma”. Rumusan ini dicetuskan sebagai ”manifesto” pada 1935. Oleh redaktur majalah Pujangga Baru, pada masa ini, tarik-menarik antara ”seni untuk seni” dan ”seni sebagai alat” mulai dibicarakan.
Jika lingkup kajian ini kita perluas, ihwal seni ini di dalam sejarah seni rupa kita mengerucut ke dua kubu yang saling berseberangan, mengemuka sebagai dua sistem kepercayaan: 
PERTAMA, kubu yang percaya bahwa ”seni adalah untuk seni”. Segala yang diciptakan oleh seniman tidak berurusan dengan kenyataan sosial. Sering dikatakan bahwa ”otonomi” adalah fenomena modern. Dan, dia adalah salah satu dari trinitas dalam paham modern: ”otentisitas”, ”orisinalitas”, dan ”otonomi”. Karena seniman adalah makhluk otonom, ia bukanlah orang yang bisa dideterminasi oleh apa dan siapa pun. Dari sisi estetika, wakil paling populer dari kubu ini adalah lukisan-lukisan formalistik, semisal abstrak dan ragam variasinya. Yang dinilai dari karya dalam kategori ini adalah pada kualitas intrinsiknya—kualitas yang tidak berhubungan dengan dunia luar.
KEDUA ”seni untuk rakyat”. Karena seniman adalah anggota atau bagian dari masyarakat, ia tidak bisa melepaskan diri dari masyarakatnya. Sebelum diformulasikan secara praksis dan pragmatis oleh Lekra dengan mengadopsi paham Realisme Sosialis internasional, sebenarnya Sudjojono telah mengawali konsepsi ini dengan kredo: ”kembali ke realisme”: sebuah lukisan harus dimengerti oleh masyarakat luas. Dalam pandangan ini, baik makna maupun nilai seni hanya bisa dipahami dengan cara menempatkannya ke dalam situasi sosial yang memproduksinya. Dalam kerangka ini, tidak sedikit pengamat seni yang menilai bahwa karya seni merefleksikan nilai (selera) kelas yang dominan dan seni digunakan sebagai alat perjuangan untuk melawan dominasi tersebut. Apabila sistem nilai ”Formalisme” adalah intrinsik, letak keberhasilan seni di paham kedua ini berada pada kualitas ekstrinsiknya. Sejarawan Marxis Nicos Hadjinicolaou, misalnya, mengatakan, ”… mulai sekarang pertanyaan idealis ’apa itu keindahan’ atau ’mengapa karya itu indah’ harus diganti dengan pertanyaan materialis, ’oleh siapa, kapan, dan dalam kepentingan apa sebuah karya itu disebut indah’.” Karena itu, mereka yang bekerja di koridor ini lazim disebut ”pekerja seni” (art workers) ketimbang ”seniman” (artists). 
Ciri dan gaya.  
Setelah seorang pelukis mencipta seni selama, katakanlah, lebih dari 40 tahun, tentu saja kita bisa menilai apa dan bagaimana ciri dan gaya lukisannya, patungnya, keramiknya, atau grafisnya. Semua itu akhirnya bertalian dengan identitas (istilah Oesman Effendi pada 1969: ”capnya”), maka apa dan bagaimana identitas seorang seniman itu terbentuk? Siapa yang membentuk? Sejarawan seni, kritikus, atau masyarakat umum?
Jika kita kembali pada dua kubu tadi, sekurangnya, pembentukan identitas seorang seniman itu sebenarnya bisa diperkirakan. Pada yang pertama identitas seorang seniman hanya dan hanya jika terjadi dari performanya sendiri. Seniman modern membentuk dirinya sendiri. Ia adalah pusat dari daya pembentukan tersebut: independen, otonom. Karya-karyanya bukanlah karya anonim sebagaimana paradigma komunalisme-tradisionalisme. Kemodernan mencabut seni dari integrasinya dengan kehidupan, agama, dan budaya. Seniman modern menandatangani karyanya sebagai bukti otentik dan eksistensi dirinya. Pada kubu kedua, seniman ”dibentuk dan membentuk” (bersama-sama) nilai instrumental apakah itu moral, spiritual, atau kondisi sosial sekitarnya.
Pelukis S. Sudjojono
Kini kita cermati bagaimana, secara intrinsik, ”identitas” tersebut dipahami. Contoh kasus: Sudjojono. (1) Tanda tangan, S Sudjojono acapkali membubuhkan 2-4 sekaligus tanda tangan di satu lukisan. Ia memiliki dua macam tanda tangan: menuliskan namanya, S Sudjojono, dan SS.101/kota/titimangsa, misal SS.101/Jak(arta)/1978. (2) Narasi, S Sudjojono acapkali menuliskan penggalan narasi dalam lukisannya.

Narasi tersebut tidak selamanya berhubungan dengan apa yang ia lukiskan. Salah satu lukisan buket bunga mawar yang ia lukis, misalnya, malah dibubuhkan pandangannya terhadap situasi politik. Dari sini, dan diperkuat koleksi sketsa-sketsanya, kita tidak hanya bisa mempelajari ”cara S Sudjojono menulis” atau ”merangkai kalimat”, tetapi juga menganalisis ”cara dia berpikir dan mengungkap kepribadiannya”. (3) Kredo, setiap seniman umumnya memiliki kredo yang layak dijadikan dasar pijakan guna memahami karya ciptaan ataupun pemikirannya. Kredo ini sering kali diimplementasikan dalam sikap dia berkarya. Salah satu kredo S Sudjojono: ”Kebenaran nomor satu, baru kebagusan”. Implementasi kredo ini terlihat dari cara S Sudjojono menghampiri detail obyek yang ia lukis. (4) Analisis formal, kajian tentang ukuran, sapuan kuas (brush stroke), tekstur, warna (komplementer/kontras), garis kontur (tebal/tipis), garis (horizontal/vertikal/sirkular), medium (tinta/cat minyak), komposisi (simetris/diagonal), cahaya (kontras/gradasi/alamiah), bentuk, ruang, dan sebagainya.
Lukisan karya S. Sudjojono "Gerilya"
Lukisan S. Sudjono "Gembala Kambing"

Pada lukisan S Sudjojono yang cenderung menghadirkan ”kedalaman”, penting diperhatikan aspek-aspek yang ditimbulkan: overlapping, foreshortening, contour hatching, shading/modeling, relative position from the ground, dan perspectives. (5) Subject matter dan content, misalnya figur, alam benda, romantisme/revolusi, komentar sosial, rekaman keseharian, religi, lanskap, dan fantasi merupakan kecenderungan pokok dalam lukisan-lukisan S Sudjojono. Tidak seperti Affandi yang berulang kali melukis adu ayam jago atau Popo Iskandar dengan kucing, S Sudjojono nyaris tidak pernah menghampiri tema-tema seperti itu. (6) Dan ragam analisis lainnya. 
Metode . 
Sebagaimana dikatakan bahwa orisinalitas, otentisitas, dan otonomi merupakan trinitas dalam modernisme. Ketiganya bukan hanya kebutuhan, melainkan menjadi syarat mutlak dan tuntutan. Dalam seni, seorang seniman dituntut menemukan kebaruan, inovasi dalam ide, dan teknik media. Modernisme juga mementingkan otentisitas dan orisinalitas. Jadi, pengujian akan keaslian suatu lukisan adalah kebutuhan atau hasrat manusia modern. Celakanya, kemodernan di Indonesia sesungguhnya belum berlangsung. Ini terbukti dengan lemahnya infrastruktur sosial dan termasuk seni rupa di dalamnya—salah satunya pemanfaatan teknologi (laboratorium seni). Untuk kasus lukisan palsu—seperti yang sudah banyak disinggung oleh sejumlah pengamat—pemeriksaan keasliannya bisa dilakukan dengan uji laboratorium dan berdasarkan fakta- fakta sejarah.
Dalam situsnya, laboratorium Museo d’Arte e Scienza di Italia dengan gamblang menerangkan bagaimana pemeriksaan otentisitas lukisan bisa dilakukan. Diterangkan bahwa pendekatan yang berbeda untuk menentukan keaslian lukisan bisa dihampiri dengan memeriksa keaslian melalui evaluasi murni gaya, memeriksa keaslian lukisan dengan cara mengetes usia material, dan memeriksa keaslian lukisan dengan menggunakan metode instrumental ilmiah. Laboratorium ini menganalisis lukisan dengan memanfaatkan, antara lain, infrared reflectography, wood's light, a stereoscopic microscope, dan IR spectroscopy. Analisis mikroskopik, misalnya, digunakan untuk memeriksa tanda-tanda penuaan pada lapisan cat dan sifatnya (alam atau buatan), pigmen (kristalinitas, kemurnian, dan ukuran). Sementara analisis IR spectroscopy memungkinkan kita menganalisis berbagai bahan untuk memastikan kompatibilitasnya dengan periode sejarah.
Sementara analisis sejarah (faktor ekstrinsik) menekankan inventarisasi bukti-bukti historis berupa ingatan individu/komunal, catatan-catatan, dan sebagainya. Misalnya, ditemukan sejumlah bukti bahwa pada masa menjelang kedaulatan 1949, Indonesia terisolasi dari dunia luar. Pendeknya, lukisan dikerjakan di atas kain belacu dan kertas. Satu tube cat digunakan secara bergantian oleh seniman lain. Ukuran kanvas pada masa ini relatif kecil—kalaupun terdapat kanvas berukuran besar, kita akan mudah melihat adanya sambungan (jahitan). Bukti ini kita temukan pada lukisan ”Sekko” (S Sudjojono) dan ”Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (Affandi) yang dilukis pada masa-masa itu.
Keduanya, baik sarana laboratorium maupun penulisan sejarah seni rupa Indonesia, masih sama-sama lemah. Perlu kiranya dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, guna mendirikan institusi seni rupa yang mampu menjernihkan permasalahan dalam seni rupa Indonesia. Tanpa dukungan yang nyata, sebagai aset penting bagi identitas bangsa, seni rupa kita akan lenyap ditelan zaman dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, benda-benda seni rupa kita akan berhenti sebagai benda ”bersejarah yang sia-sia”.
)* Aminudin TH Siregar Dosen Seni Rupa ITB  
Tulisan ini pernah disampaikan dalam sarasehan ”Menyikapi Maraknya Lukisan Palsu di Era Ekonomi Kreatif”, Galeri Nasional Indonesia, 26 Juli 2012. 
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono
"KARYA SISWA DAN GURU": Apresiasi Seni Rupa Untuk Guru dan Siswa:   Denmas Priyadi Blog ǀ Rabu, 17 April 2013 ǀ 07:26 WIB Seni, Identitas, dan Mendeteksi yang Palsu Oleh Aminudin TH Sireg...