Ki Slamet 42 |
“ILMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA-YUDHA”
Oleh :
Prof. Dr. R.M. Sucipto Wirjosuparto
Pada waktu bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap
penjajah Belanda dalam perang –perang kolonial, seperti pada waktu perlawanan
Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan
Hamengku Buwana I), Perang Dipanegara, Perang Padri, Perang Aceh dan
lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa Indonesia telah mengejutkan
pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak penjajahBelanda, bahwa bangsa
Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk menghadapi seranga musuh dalam pertempuran
kecil, khususnya dalam perang gerilya 1), seperti yang telah diuraikan oleh Jendral A.H.
Nasution. dijelaskan nasution. A.H. NASUTION.
Sekalipun perang gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari
pihak yang mengadakan gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi
pukulan terakhir kepada musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai
dengan tentara yang teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan
perang kecil.
Karena perang melawan musuh itu dalam sejarah tidak hanya
merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga merupakan perang diplomasi,
politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah pertanyaan darimana gerangan
bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang, apabila mereka itu dalam
sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap angkatan perang
Belanda. Dengan perkataan lain,
disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk mempertahankan setiap
jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga, pastilah bangsa
Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang bersifat khusus
atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.
Apabila dikatakan, bahwa kitab kesusasteraan itu menjadi
dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang benar, karena pada zaman kuno
belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu sekarang, segala macam
pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang diberi penafsiran
sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu negara, ilmu hukum,
ilmu siasat perang dan sebagainya. Sudah
barang tentu, karena ajaran-ajaran tersebut tidak disusun secara sistematis,
dibawah pimpinan seorang guru otak setiap pelajar pada waktu yang lampau
dilatih berdasarkan atas kitab-kitab kesusasteraan mengenai sesuatu mata
pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri dan apa yang diajarkan.
Dari kesusasteraan Indonesia kuno ada beberapa bukti, bahwa
Indonesia itu telah mengenal siasat perang.
Suatu pengertian siasat perang yang penting diketemukan dalam kitab
kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra dari abad 14 dan
sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing memuat istilah sama-bheda-ddanndda
. pengertian siasat perang dalam kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari
kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra
ciptaan Kauttilya dalam bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan
tentang pengetahuan politik, termasuk politik menghancurkan musuh. Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan
dalam lapangan ilmu politik yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang
pernah mempersatukan sebagian besar India.
Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda
dirumuskan, bahwa setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya
wajib mencari sekutu (sama) di antara negara-negara yang berhubungan baik. Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang
dengan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’ itu sedikitnya bersikap netral, bahkan dapat diharapkan adanya
sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebur. Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat ‘bheda’ yang berarti memecah
belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et
impera. Sebab apabila tujuan mengadu
domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’ atau pukulan, ialah pukulan
terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.
Karena pengertian sama-bheda-ddanndda
disebutkan dalam kitab kakawin
Arjunna-wiwaha dan Nitisastra,
dijelaskan bahwa siasat perang
sama-bheda-ddanndda itu dikenal dan dipelajari di Indonesia. Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa
pengetahuan penggunaan senjata perang itu disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti pengetahuan, sedangkan dhanu berarti
panah) dan merupakan sebagian dari pengetahuan perang. Jalan untuk mencapai kemenangan dalam perang
dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang dalam kesusateraan Jawa
baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’,
ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan perang.
Pengetahuan tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit
diketemukan dalam beberapa kitab, di antaranya dalam kakawin Bharata-Yudda yang menyebutkan beberapa
bentuk wyuha atau susunan tentara,
kitab Nitisastra yang membicarakan
cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit yang menguraikan bagaimana
raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian tentaranya yang
mendemonstrasikan segala macam ulah perang.
Dari berita-berita yang diketemukan dalam beberapa kitab kesusasteraan
Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa ilmu siasat perang itu telah
dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.
Sebaliknya di daerah lainnya di Indonesia juga diketahui
bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya beberapa pengertian, bahwa
siasat perang itu telah dipelajari di Indonesia. Di dalam kitab sejarah melayu disebutkan,
bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh angkatan
perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya kitab
Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi semangat
kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat
Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat perang. Kitab lain dalam kesusasteraan Indonesia kuno
yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti
diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya
ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah
berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir
Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu itu sedemikian
populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini disadur suatu cerita baru
dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura (kira-kira tahun 1700)
dan terkenal sebagai Serat Menak (Kartasura). Karena pada waktu meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari
zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam
yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis
menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.
Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong
Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan
pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan
lain-lainnya.
Disebabkan karena menyadur kakawin Bharata-Yudha menjadi
Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama
susunan tentara yang dipakai oleh keluarga Pandawa dan Kurawa, cerita Menak
dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan bagian-bagian yang berbentuk
serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya menjebak musuh yang menurut
cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang bersembunyi dan siasat ini
sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah ‘baris pendem’. Contoh-contoh lain dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang mengisahkan
perjuangan Mangkubumi yang dikemudian
hari bergelar Hamenku Buwana I melawan Belanda. Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri,
bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli
siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga
mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”,
seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai
Bogowonto.
Contoh-contoh tentang keahlian bangsa Indonesia untuk
berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang menggoncangkan kedudukan Pemerintah
kolonial Belanda. Apabila pada waktu
dikejar oleh tentara Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri
dengan jalan menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya,
tetapi dapat memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke
dalam sungai ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan
kuda-kudanya sehingga tidak dapat mengejar
kuda yang dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran
Diponegoro mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang
bertempur melawan Belanda. Kemenangan
ini juga disebabkan karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun
barisan pendem dan dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar
Pangeran Diponegoro.
Bahwa bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang
juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini telah telah dibuktikan
ketika Sultan Agung bersama tentaranya menyerang
benteng kota mengepung Batavia tahun 1628 dengan menggali parit-parit untuk
mendekati obyek yang akan direbut dan hal tersebut tentunya telah mengejutkan
para serdadu kompeni Belanda. Berita
lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia pada abad 17 telah mempunyai
organisasi ketentaraan yang disusun rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan
siasat perang disebutkan oleh Dr. De Helen, seorang utusan Belanda yang
mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada zaman Sultan Agung. Dikatakan, bahwa apabila ‘gong’ yang ada di empat penjuru di kota ‘Karta’ dipukul, dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan
sebanyak 200.000 orang.
Dari berita-berita itu cukuplah terbukti, bahwa rakyat
Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu siasat perang. Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitan yang
menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis. Seperti telah dikatakan di atas, seandainya
dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab
kesusasteraan Indonesia kuno. Salah satu
buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat
perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin
Bharata-Yuddha’.
Menurut kesusteraan India kuno, kitab ‘Arthasastra
karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara lain ialah :
1. Ddanddda
wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2. Bhoga
wyuha, susunan tentara seperti ular,
3. Mannddala
wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4. Asamhata
wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5. Pradara
wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6. Ddrddhaka
wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7. Asahya
wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8. Garudda
wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9. Sanjaya
wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10. Wijaya
wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok
ke muka,
11. Sthulakarna
wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12. Wiҫalawijaya
wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama
dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari
sthulakarnna wyuha’
13. Camǔmukha wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2
sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ
berarti satu kesatuan perang),
14. Jhashãsya
wyǔha, bentuk susunan tentara seperti
camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti
muka ikan),
15. Sǔimukha
wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16. walaya
wyǔha, susunan tentara seperti Sǔimukha
wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17. ajaya
wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18. sarpasari
wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19. gomǔtrika
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika)
sapi (go),
20. syandana
wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21. godha
wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22. wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama seperti
syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda dan kereta
perang,
23. Sarwatomukha
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap,
lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti
seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24. Sarwatabhadra
wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25. Ashttanika
wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika
berarti delapan)
26. Wajra
wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang
disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27. Udyâ
wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi
wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung
kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28. Ardhacandrika
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra
wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29. Karkâttakaҫrênggi
wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30. Artisa
wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan
yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda
menempati garis belakang,
31. Acala
wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan
menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta
perang satu di belakang yang lain,
32. Ҫyena
wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33. Apratihata
wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan
sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan
kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang
yang lain,
34. Capa
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35. Madhya
capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian
tengah.
Sebaliknya, di dalam
kitab Kamandaka, salah satu kitab dari kesusateraan Jawa kuno
disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :
1. Garudda
wyǔha (atau byuha),
susunan tentara yang berbentuk garuda,
2. Singha
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3. Makara
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
makara (udang)
4. Cakra
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5. Padma
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6. Wukir
sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7. Ardhanacandra
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
bulan sabit,
8. Wajratikshnna
wyǔha, susunan tentara yang berbentuk
wajra atau petir yang tajam.
Di dalam
kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :
1. Wukir
sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh X dan
XL 2)
2. Wajratikshnna
(Pupuh X 11)
3. Kagapati
wyǔha (Pupuh XII 6)
4. Gajendramatta
atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII 13)
5. Cakra
wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV 21)
6. Makara
wyǔha ( XIII 24 dan XXVII 2 )
7. Sǔcimukha
wyǔha dalam Pupuh XV 21)
8. Padma
wyǔha
(Dalam Pupuh XV 22)
9. Ardhanacandra
wyǔha (Dalam Pupuh XXVI 5)
10. Kânanja
wyǔha (Dalam Pupuh XL 2)
Ketika perang besar
antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa mengambil susunan
tentara wukir sagara. Raja-raja takluk,
kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda merupakan karang laut yang serba
kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit yang bergelombang itu merupakan
gelombang samudera yang tiadak ada henti-hentinya. Susunan tentara ini memerlukan memerlukan
sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang besar dan memiliki dinamika
dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana diceritakan dalam Pupuh
X 17, yang menyatakan bahwa satu kereta
perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan masing-masing gajah diperkuat
oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh 10 orang prajurit. Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu
menjadi bukit yang kokoh.
Sebaliknya dalam
permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil susunan
tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang tajam. Bima, Arjuna dan Srikandi merupakan ujung
petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan Sangka,
bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di belakang. Yudhistira bersama-sama dengan raja lainnya,
— tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama dengan
Sweta —, dalam Pupuh X 11 itu dikatakan
ada di barisan tengah. Susunan tentara
yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang disebutkan
dalam serat Bratayuda Jarwa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai bahan
penulisan bukunya.
Berikut adalah beberapa
contoh susunan tentara dalam perang Bharata-Yudha antara Pandawa melawan Kurawa
:
Gambar A. Wajratiksnna Wyǔha dan
Wukir Sagara Wyǔha
Keterangan gambar A. :
Keluarga Pandawa
menggunakan siasat perang ‘Wajratiksnna
wyuha’ dengan susunan tentara sebagai berikut :
1.
Bhima (ujung depan). 2. Srikandi (ujung depan). 3. Arjuna (ujung depan). 4. Yudhistira (tengah). 5. Kresna (tengah). 6. Sweta (garis belakang). 7. Sangka (garis belakang). 8. Uttara (garis belang). 9. Setyaki (garis belakang). 10. Drestajumena (garis belakang sayap kanan.
I.
Sedangkan dari barisan Kurawa terdiri dari gajah
dan kuda yang menyerupai karang laut (bukit)
yang kompak, sedangkan II. Terdiri dari
pasukan darat yang secarabergelombang menuju ke depan.
Dari kedua susunan
tentara yang dimiliki oleh keluarga Pandawa dan Kurawa itu dapat diketahui,
bahwa kedua-duanya memiliki tenaga ofensif yang kuat. Dalam kaitan ini dapat dikatakan, bahwa dalam
kitab Bhismaparwa yang berbahasa Jawa kuno itu, susunan tentara keluarga
Pandawa itu berlainan dengan apa yang disebutkan dalam kakawin Bhârata-Yudha. Kecuali nama wyǔhanya tidaklah
disebutkan. Jika ditinjau dari sudut
akulturasi Mpu Sêddah yang menciptakan kakawin ini mempunyai daya cipta sendiri
dan tidak menjiplak begitu saja yang disebutkan dalam kitab Mahabhârata dalam
bahasa Jawa kuno (saduran dari kitab Mahâbhârata dalam bahasa Sangsekerta) yang
dijadikan dasar penyusunan cerita kakawin Bhârata-Yuddha tersebut.
Seperti diketahui,
dalam permulaan perang itu barisan Pandawa menderita kekalahan besar, ialah
dengan terbunuhnya Sweta yang menjadi panglima dan dua orang adiknya Sangka dan
Uttara, sedangkan di pihak Kurawa adalah Rukmaratha anak dari raja Salya. Oleh karena dengan adanya susunan tentara
‘wajratikshnna’ itu keluarga Pandawa menderita kekalahan. Menurut Pupuh XII 5-7 dikatakan, bahwa
setelah Drestajumena diangkat menjadi panglima, susunan tentara Pandawa diganti
menjadi ‘Garuda wyǔha dan menurut Pupuh XII 8 diimbangi oleh tentara
Kurawa. Susunan tentara kedua pihak itu lebih
tenang sifatnya, karena titik beratnya terlrtak pada aspek defensif, setelah
terbukti bahwa dengan susunan tentara yang masing-masing berbentuk wukir sagara
dan wajratikshnna itu yang bersifat ofensif keduannya menderita kekalahan dan
kerugian besar.
Susunan tentara
garudda wyuha menitik beratkan siasatnya untuk menjaga keselamatan dari induk
barisan dan keselamatan ini dijamin oleh pemusatan kekuatan di masing-masing
lambung. Dengan adanya jaminan dari
kedua lambung itu barisan induk dengan tenang dapat mengadakan ofesif atau
penyerangan dengan dibantu dan dilindungi oleh masing-masing lambung.
Gambar B. Garuda Wyuha
Keterangan gambar B
•
Keluarga Pandawa :
1.
Drupada (kepala). 2. Arjuna (paruh). 3. Yudhistira (punggung). 4. Raja-raja termasuk Nakula dan Sadewa
(punggung). 5. Bhima (lambung
kiri). 6. Drestajumena (lambung kanan). 7. Setyaki (ekor).
•
Keluarga Kurawa :
I.
Sangkuni (kepala), II. (Salya),
(paruh), III. Suyudana
(punggung), IV. Bhisma (lambung
kiri), V. Dorna (lambung kana), VI. Dursasana (ekor).
Dengan mempergunakan susunan tentara
yang serba tenang untuk menjaga jangan sampai banyak menderita kerugian,
tentara Kurawa juga menderita kerugian besar dengan terbunuhnya panglima
Bhisma, karena sebagai pemimpin yang diserahi pertahanan di lambung kiri
kecuali menyerang, juga menjaga keamanan raja Suyudana yang ada di barisan
induk. Dari tempat yang aman ini raja
Suyudana menempati posisi yang strategis, karena dapat melihat seluruh gerakan
tentara Kurawa yang sedang bertempur.
Setelah
Bhisma gugur dalam medan pertempuran, kedudukannya diganti oleh Dorna yang
menjadi panglima tentara Kurawa ; ia
memilih susunan tentara gajamatta, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII
13. Sebaliknya tentara Pandawa, seperti
yang disebutkan dalam Pupuh XIII 13 itu juga memilih susunan tentara gajamatta
sama seperti yang digunakan oleh susunan tentara Kurawa. Hal ini berbeda dengan dalam karangan J. Kats
yang uraian tulisannya atas dasar kitab ‘Serat Bratayuda’, tentara Pandawa
tetap mempertahankan susunan tentara garuda wyuha.
Gambar C. Gajamatta Wyǔha
Gajamatta Wyuha |
Keterangan Gambar C.
•
Keluarga Kurawa
:
I.
Bhagadatta (belalai), II. Karna (gading), III. Jayadrata (gading),
•
Keluarga
Pandawa :
1. Arjuna
(gading)
Dari pertempuran kedua
pihak yang masing-masing mempergunakan susunan tentara berbentuk gajamatta
wyuha itu, dari pihak Kurawa dapat diketahui susunannya dengan jelas, karena
disebutkan dalam kakawin Bhârata-Yudha,
akan tetapi sebaliknya kakawin Bhârata-Yudha hanya menyebutkannya dengan
samar-samar. Yang disebutkan dalam Pupuh
XIII 15, hanya Arjuna. Di dalam pertempuran itu, pihak Kurawa
mengalami kerugian, karena Bhagadatta gugur sebagai akibat serangan
Arjuna. Tentara Kurawa sesungguhnya akan
mengalami kerugian lebih besar lagi, jika hari tidak menkadi malam. Dengan datangnya malam itu peperangan harus
dihentikan.
Pada waktu pagi di
hari berikutnya, Dorna telah mendengar dari Yudhistira sendiri, bahwa ia dapat
dibinasakan jika dirinya ditinggalkan oleh Bhima dan Arjuna, seperti yang
disebutkan dalam Pupuh XIII 19. Setelah dapat menipu Bhima dan Arjuna untuk
berperang di tempat-tempat yang jauh, Dorna mencoba membunuh Yudhistira dengan
jalan merubah susunan tentara dari gajamatta wyuha menjadi cakra wyuha, seperti
yang disebut kan dalan Pupuh XIII
22. Karena dengan perginya Bhima
dan Arjuna itu tentara Pandawa menjadi lemah.
Yudhistira mengganti susunan tentaranya dan dari gajamatta wyuha menjadi
makara eyuha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 24.
Gambar D.
Makara Wyuha dan Cakra Wyuha
Makara Wyuha & Cakra Wyuha |
Keterangan gambar D
•
Keluarga Pandawa :
1.
Drestajumena (sapit kana), 2. Ghatotkaca (sapit kiri), 3. Sâtyaki (mulut), 4.
Nakula (mata kiri), 5. Sadewa (mata kanam), 6. Abhimanyu (hidung), 7. Dua orang Pancawala atau anak Pandawa
(sungut kiri), 8. Tiga orang Pancawala
(sungut kanan), 9. Yudhistira (kepala), 10. Beberapa orang raja (punggung), 11. Beberapa orang raja (badan).
• Keluarga
Kurawa :
I.
Jayadrata (peleg) bersama-sama dengan raja-raja
lainnya, II. Karna (tuji-ruji), III. Dorna (ruji-ruji), 4. Krêpa (ruji-ruji), V, VI
dan seterusnya orang-orang Kurawa (ruji-ruji), VII. Suyudhana (Sumbu).
B e r s a m b u n g
P u s t a k a : ipto
Wirjosuparto, “Kakawin Bharata-Yuddha”
Penerbit – Bhratara – Jakarta 1968
Tidak ada komentar:
Posting Komentar