Minggu, 28 Juli 2013

Sekolah Paksa Murid Makan di Kamar Mandi

Sejumlah foto yang baru-baru ini beredar telah memicu amarah para pengguna internet. Foto-foto itu memperlihatkan bagaimana para pelajar non-muslim di sebuah SD di Malaysia dipaksa makan di kamar mandi selama bulan puasa.

 Foto- foto yang tampaknya diunggah di Facebook oleh orangtua siswa itu memperlihatkan pelajar SK Seri Pristina di Sungai Buloh duduk mengelilingi meja sebuah ruang ganti yang disulap menjadi ruang makan dadakan.

Pihak sekolah diduga telah memaksa para siswa untuk makan di ruangan makan darurat itu, yang terletak berdampingan dengan toilet.

Tidak ada makanan yang tersedia di kantin karena pihak sekolah menutupnya selama Ramadan.

Dikabarkan bahwa para pejabat dari Education telah melakukan pertemuan dengan pihak sekolah dan orangtua murid pada Selasa (23/7).

Dalam tanggapan cepatnya di Twitter, Wakil Menteri Menteri Pendidikan P Kamalanathan mengatakan bahwa sekolah tersebut telah diinstruksikan untuk memindahkan lokasi ruang makan darurat itu.

Dia menambahkan bahwa kementerian telah meminta penyelidikan atas masalah tersebut.

“Jika kantin sekolah akan dipindahkan, lokasi yang tepat seharusnya sudah dipertimbangkan; yang pastinya bukan di kamar mandi.”

“Ini bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan. Pihak sekolah sedianya bisa menunjuk pegawai kantin sementara untuk menjalankan tugasnya selama Ramadan,” katanya.

Orang tua murid: penuh bakteri
Dalam postingan Facebook miliknya, Guneswari Kelly, yang mengaku memiliki seorang putri di sekolah itu, mengatakan bahwa para siswa dipaksa untuk makan di sana meski bau busuk menyeruak.

“Kamar mandi penuh dengan bakteri dan bau..., dan toilet yang ada di sampingnya menyebarkan bau yang yang mengerikan,” katanya.

Dia mengatakan bahwa ketika para orangtua murid mengeluh, para pelajar hanya dialihkan ke kamar mandi lainnya atau gudang.

“Sebagai seorang ibu, saya miris dan sedih. Berapa lama lagi mereka menerapkan hal ini...? Wahai teman-teman Malaysia, adilkah ini di mata kalian? Apakah Tuhan kalian mengizinkan hal seperti ini?” tanya dia.

“Tegas saja. Jangan menyembunyikan [anak-anak] di tempat seperti ini."Postingan di Facebook itu telah dibagikan lebih dari 1.900 kali dan menerima lebih dari 160 komentar dalam waktu 12 jam, termasuk dari umat Islam yang mengutuk tindakan tersebut dan mendesak hukuman terhadap pengelola sekolah.

Beberapa di antara mereka mengatakan akan mengajukan laporan ke polisi sementara sebagian lainnya mengunggah tautan ke halaman Facebook milik kepala sekolah, mendesak untuk segera mengambil tindakan.

Salah seorang pengguna Facebook, Myth Laddu Tinna Aasai, mengaku telah mengajukan laporan kepada polisi.

“Saya seorang warga Malaysia sekaligus seorang muslim dan saya dengan tegas tidak setuju dengan perlakuan terhadap mereka yang berbeda keyakinan…”

“Ini bukan ajaran Islam. Saya berharap agar mereka yang terlibat dihukum dengan adil. Saya penasaran, di mana sih mereka menempatkan otak mereka,” kata Emy Deen yang turut memberikan komentar.

Pemberi komentar lainnya, yang mengaku berprofesi sebagai guru, mengatakan bahwa anak-anak seharusnya diizinkan untuk makan di kantin seperti biasa tapi disarankan untuk tidak memamerkan makanan mereka di depan anak-anak muslim yang sedang berpuasa.

“Tegas saja. Jangan menyembunyikan [anak-anak] di tempat seperti ini. Sungguh keputusan yang tidak bijak dari kepala sekolah,” kata Akmar Zainal Mokhtar.

Suguna Papachan menambahkan bahwa insiden itu terjadi karena kurangnya kebijakan untuk mengatasi perbedaan ras dan agama.

“[Pemerintah] tidak menyadari bahwa kita adalah negara dengan banyak agama, tidak menyadari bahwa perlu hidup berdampingan sehingga (bukan sekadar) Islam menjadi agama resmi dan setiap orang harus menghormati yang itu-itu saja.”

“Harus ada penghormatan keyakinan budaya dan agama dari semua pihak, misalnya, jika umat Islam berpuasa di sekolah, harus ada makanan yang disediakan untuk siswa yang bukan muslim," katanya.

Kamis, 25 Juli 2013

Tayangan di Tiga TV Lecehkan Nilai Ramadan, Lainnya Dipuji MUI


Oleh Editor KapanLagi.com, Selebriti | Kapanlagi – 17 jam yang lalu
 
Tayangan di Tiga TV Lecehkan Nilai Ramadan
KAPANLAGI.COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat memberikan catatan serius terhadap empat tayangan di tiga stasiun televisi yakni Trans 7, Trans TV dan ANTV yang dinilai menyajikan tayangan tidak mendidik dan tidak sejalan dengan semangat Ramadan.

"Tiga stasiun televisi tersebut menayangkan lawakan yang berisi pelecehan, jauh dari nilai Ramadan, hingga lawakan konyol," kata Anggota Komisi Infokom MUI Usman Yatim dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/7).

Menurut Usman, program Ramadan yang mendapat catatan serius yaitu 'Yuk Kita Sahur' dan 'Karnaval Ramadhan' (Trans TV), Sahurnya OVJ (Trans 7), 'Sahurnya Pesbukers' (ANTV).

Jika pada Ramadan tahun lalu, hanya tiga televisi memperoleh apresiasi positif, namun pada tahun ini tiga televisi yang masih menuai kritikan serius yakni Trans 7, Trans TV dan ANTV.

Tim Pemantau MUI juga mencatat beberapa stasiun televisi yang mengalami perubahan signifikan yakni RCTI dan Indosiar. "Kini di dua stasiun TV itu (RCTI dan Indosiar) tidak ada lagi komedi sarkastik seperti tahun lalu," tambah Usman.

MUI juga mengapresiasi empat televisi yang menampilkan program berkualitas dan sarat nilai yakni Metro TV, TV One, TVRI dan Jak TV.

Selain itu MUI juga mengapresiasi beberapa program tayangan komedi yang dikelola positif yakni Kolak Candil (Global TV), Udah Sahur Belum (Kompas TV) dan Tuan Abu dan Bung Nawas (MNC TV).
"Kami meminta agar stasiun TV menayangkan humor-humor yang sehat," tambah dia.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Iddy Muzayyad mengatakan KPI telah melayangkan enam surat teguran yakni Sahurnya Pesbukers (ANTV), Hafidz Indonesia (RCTI), Sahurnya OVJ (Trans 7), Yuk Kita Sahur (Trans TV), Karnaval Ramadhan (Trans TV) dan Mengetuk Pintu Hati (SCTV). (kpl/antara/dar)


Sabtu, 06 Juli 2013

Taman Budaya Jabar Akan Menampilkan Drama Musikal Kolosal

RETNO/"PRLM"
RETNO/"PRLM"
DRAMA Musikal Kolosal "Puteri Kadita" karya Yusep Mulyana akan dipegelarkan di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat, Jumat (5/7), rencananya akan dihadiri Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Prof Dr Ahman Syah, serta Direktur Seni Pertunjukan dan Industri Musik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Juju Masunah.*** 



BANDUNG,(PRLM).-Cerita legenda Nusantara banyak berisikan pelajaran hidup yang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang. Cerita “Dewi Kadita” selama ini terkubur oleh mitos yang berkembang dimasyarakat Jawa Barat maupun masyarakat pesisir pantau selatan.

“Selama ini yang berkembang dimasyarakat hanya sisi mistiknya saja mengenai ratu pantai selatan Nyai Roro Kidul. Tapi apakah masyarakat terutama anak-anak generasi sekarang mengetahui silsilah dibalik mitos tersebut? Dan siapa Nyai Roro Kidul tersebut? Kami (Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat) sebagai UPTD dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat merasa mempunyai kewajiban untuk mempublikasinkannya kepada masyarakat luas siapa itu Nyai Roro Kidul,” ujar Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Dra. Hj. Rosdiana Rachmiwaty, M.Si., disela-sela gladiresik pegelaran Drama Musikal Kolosal “Puteri Kadita” karya Yusep Muldiana, dengan sutradara Anton Yustian.

Drama Musikal Kolosal “Puteri Kadita” yang diangkat dari cerita legenda Puteri Pantai Selatan yang akan dipentaskan Jumat (5/7) malam nanti di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat didukung oleh 70 orang pemain. Jalan cerita dalam bentuk drama musikal pop, akan lebih menekankan pada intrik yang terjadi didalam kerajaan Padjajaran, antara Puteri Kadita sebagai puteri tunggal Raja Padjajaran Munding Wangi dengan Dewi Mutiara ibu tirinya.

Pegelaran Drama Musikal Kolosal “Puteri Kadita” merupakan bagian dari Program Aktivasi Taman Budaya yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di 14 Taman Budaya se Indonesia.
Selain Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Drs Nunung Sobari M.M., beserta jajaran, pegelaran juga akan dihadiri Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Prof Dr Ahman Syah, dan Direktur Seni Pertunjukan dan Industri Musik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Juju Masunah. (A-87/A-107)***

"KITA SEMUA WAYANG": Taman Budaya Jabar Akan Menampilkan Drama Musikal ...: Jumat, 05/07/2013 - 08:12 RETNO/"PRLM" DRAMA Musikal Kolosal "Puteri Kadita" karya Yusep Mulyana akan ...

Selasa, 02 Juli 2013

Djiwo Diharjo: "Preserving The Magic Of The kris"


Simon Sudarman, Yogyakarta | People | Mon, July 01 2013, 12:13 PM

A- A A+
Djiwo Diharjo. — JP/Simon Sudarman
Djiwo Diharjo

Paper Edition | Page: 28

Djiwo Diharjo. — JP/Simon Sudarman The revival of various traditional art performances today makes Djiwo Diharjo, 78, feel relieved. As a kris maker since 1956, the master craftsman, or empu, has relied on his skill for a living, which has practically become a thriving business, along with the resurgence of traditional shows.

“Working as a kris craftsman has its ups and downs, which is a common experience. But as I do the job with a high sense of dedication. Whatever happens can be handled with a feeling of delight,” said Empu Djiwo, who lives in Banyusumurup in Bantul, Yogyakarta.

Through his patience, perseverance and dedication, the works of the recipient of Upakarti Achievement Award 2011 from President Susilo Bambang Yudhoyono have spread to collectors in various countries like Japan, Holland, the US, France, Belgium, Singapore, Malaysia, the Middle East, Suriname and Australia.

“I’ve traveled to different countries also because of my craftsmanship. But it was mostly during the rule of president Soeharto,” said Empu Djiwo, who was once invited to Brunei and stayed for five years to make kris and ivory shields.

According to him, Europeans are interested in kris primarily due to the beautiful shapes and motifs of the traditional daggers. “But they also believe in the magical powers of certain kris. Europe and Japan have had royal traditions, so that kris and such forces are not new to them, particularly the Dutch, although it’s beyond logical reasoning,” he indicated.

The primary school graduate, who was declared an empu by Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono IX in 1984, mentioned the functions of kris that were also recognized by Westerners were bringing safety, fortune, inner peace, controlling rain and even counteracting black magic.

“French and Australian visitors come here every three months to buy kris, sometimes ordering the ones with magical powers, which are mostly needed by dignitaries and entrepreneurs,” said the father of seven.

He explained that the crafting of kris with supernatural forces should be accompanied by certain rituals like making offerings, fasting, calculating auspicious dates and refraining from speech during the process of production.

“When foreigners come here to order magical kris, they promptly hand over their birthdates. They’re aware that such kris need to be adjusted to the dates of birth to determine the right motifs of the blades that suit their users,” said Empu Djiwo.

He is convinced that the supernatural forces in kris come from God rather than evil spirits. Because the forging process that takes seven to eight months, he mostly keeps silent, concentrating on his work while praying for God’s favor.

“I’m not the one to fear such forces, but I’m just channeling prayer so that the powers from God come down and become one with the blades,” clarified Djiwo. Assisted by four workers, he forges 8 to 10 kilograms of iron to get its “essential part” of only 4 ounces for a kris, which can cost upwards of Rp 15 million (US$1,511).

“The time suitable for kris making is just two hours a day, which takes a long time to finish, leaving the rest of the day for prayer. A lot more time is needed for prayer than for crafting,” noted the master, who is the 19th descendant of Empu Ki Supadiyo from the Majapahit kingdom.

Western collectors are very much amazed by the pamor, or motifs, on kris blades. Empu Djiwo put the number of these patterns at 120.

“They are standard types of pamor, so that their number has remained unchanged since the past. The difference is only the way they’re fashioned, which becomes increasingly refined. The motifs have their own powers, like enhancing authority, bringing security, fortunes and warding off evils,” said Djiwo, whose showroom is located in the Gabusan art market in Bantul.

UNESCO’s recognition of Indonesian kris as part of the world’s cultural heritage, however, has not been followed by increased government attention to the preservation of this cultural treasure.

“For me, the preservation of the treasure we inherit from our ancestors is a must. It’s my way of devoting my life to our forebears, Indonesian culture and God. Making kris amounts to getting closer to God, thus also to fortune. But don’t expect abundant riches. That’s a taboo for an empu,” he maintained.

There are two categories of kris makers, the first are master craftsmen, or empu, and the second ordinary are craftspeople. The latter only take one full day to finish a souvenir kris sold for around Rp 1.5 million.

“I’m sure they can earn a living by producing such kris,” said Empu Djiwo, who used to be the only kris smith in his hilly village, and whose 60 trainees have now turned out over 300 kris makers.


Ki Brojo Blog: "PUSAKA LELUHUR": Djiwo Diharjo: preserving the magic of the kris | ...: Simon Sudarman, Yogyakarta | People | Mon, July 01 2013, 12:13 PM A- A A+ Djiwo Diharjo Paper Edition | Pag...