Minggu, 19 Mei 2013

Transkripsi Kakawin Bharata-Yuddha Oleh Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wiryosuparto



Denmas Priyadi Blog│Minggu, 19 Mei 2013│17:02 WIB
  
Tarung gada Duryudana melawan Bima
Aswighram astu I
Hendaknya tak ada bahaya merintangi I
1.              Sang curamrih ayajna ring samara mahyun i hilanganikang parangmuka. Lila kembang ura sekar taji ni kecaning ari pejah ing rannanggana. Urnnaning ratu mati wijanira kunnddanira nagaraning sucramenggala.
1.                 Sang pahlawan ingin bersaji dan bertujuan untuk membinasakan musuhnya. Yang merupakan taburan bunga yang indah adalah untaian bunga di atas rambut yang gugur di medan perang. Urna hiasan manikin di dahi raja yang telah meninggal merupakan (taburan) beras persajian; Negara musuh yang terbakar adalah tempat api persajian. Yang disajikan ialah kepala musuh yang telah terpenggal di atas keretanya, setelah bertempur tidak  mengenal mundur di medan peperanga.
 
2.              Dah samangkana kastawanira tekeng tri bhuwana winuwus jayeng ranna. Kapwasabda bhattara Jayabaya panenggahing sarat. Manggen sampun inastwaken sujana wara reshi caiwa sogata.
2.                 Maka dari itulah sebab sang raja terkenal, sehingga oleh dunia tiga buwana ia dianggap sebagai pemenang. Musuh yang telah dikalahkan menamakan sang raja itu seorang raja dewa. Hal ini telah tersebar dimana-mana, maka oleh dunia Ia disebut “Yang dipertuan raja Jayabaya”. Ia telah diakui dengan tetap oleh orang-orang pandai, orang-orang berahmana yang terkenal (terkemuka) dan oleh orang-orang pendeta dari golongan Ciwa dan Buddha.

3.              Ngka rakwan tumurun bhattara Girinatha lawan amarasangha len reshi. Yatna cri pamaca mamurshita mangarggha ri sira saha citta nirmala. Yekan thustta manah bhattara muwuwun haji Jayabhaya haywa sangcaya. Tatan krodha ketaku yak para sukasunga wara karannanta digjaya.  
3.                 Pada waktu itu konon dikatakan, bahwa dewa Ciwa dengan diantarkan oleh segerombolan dewa dan resi turun di dunia. Sang raja berusaha menyongsongnya dan member penghormatan kepada sang dewa yang dianggap sebagai Kesucian yang tidak terperikan. Maka sang Siwa sangat gembira hatinya dan bersabda: “Wahai raja Jayabhaya, janganlah kamu takut. Saya tidak dating karena marah, melainkan dating untuk member anugerah supaya kamu jadi pemenang di sepuluh langit”.

4.              Tanggap tosen anugrahangkwa ri wewangku Jayabhaya rengon iking praja. Swastyastu prabhu cakrawarttya kita ring sabhuwana jaya catru ring musuh.tekwan langgenga satmakanaku lawan kita tulusa bhattara ning jagat. Nahan cabdani ratereh telas inastwakenira reshi-sangha ring langit.   
4.                 Terimalah anugerah saya, yang saya berikan kepada anakda, raja Jayabhaya! Hendaknya ini didengarkan oleh seluruh Negara. Berbahagialah kamu sebagai raja dan jadilah raja besar di dunia dan mengalahkan musuh. Kecuali itu, hendaknya tetap bersatu jiwamu dengan saya: “langsunglah kamu menjadi dewa di dunia”.  Demikian kata dewa Ciwa dengan tandas: “hal ini telah dusetujui  oleh gerombolan orang resi di angkasa”.

5.              Sampun mangkana sukhmarehnira bhattara telasira maweh anugraha. Tan dwanut samusuh narecwara padda prannata teko ri Hemabhupati. Enak tandelireng sarat maling aweh ri cakti sang prabhu.
Anghing tan wedi sabsabing wang ahajeng teka sumilib I tambwanging wulan.

5.                  Setelah dewa Syiwa member anugrah, dewa Syiwa itu sesuai dengan tabiatnya menghilang.
Semua musuh raja Jayabaya kemudian tunduk dan bersembah kepadanya, bahkan juga raja Sumatera. Seluruh dunia menjadi tenteram dan percaya kepadanya; tidak ada pencuri lagi, karena mereka telah lari, takut akan kesaktian sang raja. Tetapi mereka yang mencuri orang perempuan yang indah (tetap) tidak takut; pada waktu bulan purnama mereka berkelilingan secara diam-diam.

6 .       Nahan dong empu seddah makirrtya caka-kala ri sanga kuda cuddha candrama.
Sang sakshat Harimurtti yan katiga nitya makapalana kecaning musuh.
Sang Iwir Lek pratipada cukla pinalakwan ahuripa wijilnireng ripu.
Ring prang darppa Pacu prabhupamanirahyun i kadungulaning parangmuka.

6.                 demikianlah yang menjadi tujuan empu Seddah ketika ia berjasa dengan membuat cerita sejarah pada tahun Caka Sanga Kuda Cuddha Candrama.
Sang raja mempunyai rupa seperti dewa matahari pada musim kemarau dan pelananya berupa rambut musuh dan mempunyai rupa seperti bulan pada waktu paro putih; ia selalu diminta untuk menyelamatkan hidup anak dan keturunan musuhnya.

7.         Byaktacamana pada-pangkaja bhattara Ciwa marang umastawa sira.
Yogyan manggalaning miket prangira Panddawa makalaga Korawecwara.
Ndan duran kawacahalib kadi sereh pamahugi mahapu susuh geseng.
Manggeh tan seddepanya ring waja tuhun palaren amanguna ngresing hati.

7.                 jelaslah bahwa jika orang bersembah kepada kakinya yang bersifat bunga teratai, persembahannya itu sama dengan bersembah kepada sang Syiwa.
Alangkah baiknya apabila yang tersebut di atas itu dipergunakan sebaggai pendahuluan membuat pujian tentang peperangan antara orang-orang Pandawa melawan raja Kurawa.
Sangat sukarlah untukku menulisnya; tidak mungkin (rasanya) karena pekerjaan ini menyerupai suguhan daun sirih yang berkapur rumah siput yang gosong waktu dibakar.
Sungguh tidak enak rasanya untuk gigi; walaupun demikian akan diusahakan juga supaya (cerita ini)dapat membangkitkan rasa pilu dalam hati.

8.         Nguni kala nararyya Khresnna pinakacra yanira naranatha Pannddawa.
Sinwikara kinon lumakwa ddatengeng Kurupatimangaran Suyodhana.
Tan len denaniramalakwa ri kapaliha ni pura nararyya Pannyapwan pasraha tuta rakwa yadi tan pasunga karannaning prang adbhuta.

8.                 Dahulu kala Kreshna diminta pertolongannya oleh raja Pandawa. Ia didesak untuk pergi ke raja Kurawa yang bernama Suyodhana. Tujuannya tidak lain ialah membagi dua Negara untuk raja Pandawa.
Jika ini dikabulkan aka nada damai, tetapi apabila ini tidak dikabulkan akan menimbulkan perang dahsyat.

9.                  Ndah mangkat sira cighra sangka ri Wiratta dinuluring anama Satyaki.
Enggal prapta tekap ni cakti ni turangganira pinndda manglayang.
Kongang decanikang Gajahwaya-purahawuk inemuka ing hudan riwut.
Oruk warnnani wannddiranya kadi coka makemul I paninggaling priya.

9.                  Maka dari itu raja Kreshna pergi dengan segera dari Wirata dengan diantar oleh Satyaki. Karena kesaktian kudanya yang seolah-olah terbang di angkasa, dengan segera ia dating. Negeri Gajahwaya (Hastinapura) dengan kotanya tampak di mata, tetapi agak samar-samar karena tertutup oleh hujan lebat. Pohon beringin cemas, seolah-olah susah seperti orang perempuan yang berselimut (karena susah) ditinggalkan oleh kekasihnya.

10.               Puncak-puncak i gopuranya hatur anghadddanga ri sira mungwa ring henu.
Kadyagya ri teka Janarddana panambay i patapanikangawe katon.
Warnnanambaha pangnikang bhujaga-pushpa mageyuhan umimba kanginan.
Sakshat lakhsmyanikang puri Kuru 
matakwana ri milu nuraryya Pannddawa

10.Puncak gapura seolah-olah menunggu kedatangannya di tepi jalan dan sinarnya kelihatan seolah-olah melambai untuk mempercepat kedatangan raja Kreshna. Dahan-dahan pohon nagasari yang oleh tiupan angin bergerak-gerak seolah-olah memberi sembah. Pohon-pohon itu seolah-olah berupa orang-orang perempuan yang elok di kota raja Kurawa dan menanyakan tentang ikut sertanya raja-raja Pandawa.

11.               Ndan bhagnan kari panndduputra ri Wiratta tekapira nararyya Kecawa.
Yekan coka langonikang hewan akunnddah anangis asekel cucurnika.
Mangka jring malume ddawuh puddak i pannddan ika maki lusu haneng watu.
Ho hoh cabdaninikang walik taddahasih padda manangis i pangnikang tahen.
11.Tetapi merekaitu kecewa, sebab atas permintaan raja Kresna putera-putera Pandawa tinggal di Wirata. Maka dari sebab itu keindahan di jalan-jalan menjadi susah dan gundah; burung-burung cucur menangis tersedu-sedu. Pada waktu itu pohon jering menjadi layu, sedangkan bunga pudak runtuh dari pohon pandan yang melaju di atas batu. “Heh, heh” demikianlah bunyinya burung walik, sedangkan burung kedasih menangis di atas dahan-dahan pohon.

12.               Kapwaca lengenging Gajahwaya ri tan padulurira nararyya Pannddawa.
Honya n campaka manglugas kusuma paksha malabuha jurangikang parung.
Lampus tanjung ikangenes layat agantungan i panawanging jaring-jaring.
Tan patma bhramarakusanangisi laywaning asana manutryyaking banu.
12.Segala keindahan di Astina bersusahhati, karena raja-raja Pandawa tidak ikut. Ada beberapa pohon cempaka yang menanggalkan bunga-bunga, karena dengan paksa ingin menjatuhkan diri di dalam jurang yang dalam. Pohon tanjung mati, karena sangat susah; bunga-bunganya runtuh dan bergantungan dijaring laba-laba. Lebah yang tidak bersemangat menjadi susah dan menangisi bunga-bunga angsana yang laju dan terbawa oleh ombak air.

13.               Mangka nyasa ni pancuranyapadda coka ri tayanira sang Dananjaya.
Hyangnyalek magegeh mulat kapenetan ri kapati ni lumutnikang watu.
Sangsara ng karacakecap mulat i mannddaganika ri pipinya tan padon.
Kares-res ni susuhnya mati manulad tiwa-tiwa ni mukarjjuneng cilla.
13.Pada waktu itu balai kambang yang memancurkan air (merasa) susah, karena Dhananjaya (Arjuna) tidak ada. Dewa (yang berkuasa di tempat tersebut merasa cemas) tercengang dan terkejut, karena melihat lumut-lumut di atas batu mati. Dengan susah hati siput-siput masuk dan keluar dari rumah siputnya dan melihat, bahwa boreh di atas pipinya itu tidak berfaedah. Karena kesusahan hati siput-siput itu meninggal dan tindakannya itu menyerupai upacara pembakaran mayat di depan muka sang Arjuna yang digambarkan di atas batu.

14.               Tan mangka kalakonikang rawa-rawa n masemu lumihat ing wwanging sabha.
Tiranyapned arajasakayu suwarnna welas-arepikagelang kuning.
Mangka tunjungikasekar wali pingul-pingulanika paddapajeng pingul.
Sarwwecchan pachuring suhun bras ika yan pabanu-banu manganti ring renek.
14.Keindahan rawa-rawa tidak serupa biasa pada waktu melihat orang-orang yang berkumpul di tempat permusyawaratan. Tepinya sangat indah dengan bunga-bunga rajasa dan bunga emas yang menimbulkan rasa kasihan, karena rupanya kuning seperti gelang tembaga. Begitu pun keadaannya bunga tunjung yang setelah terbuka kemudian tertutup lagi; tertutupnya itu seperti payung yang ditutup. Sangat indahlah suara curing seperti bunga suhun beras (memakai kembang), yang menunggu di tepi rawa untuk mandi.

15.               Singgih ya maparek purangjrah ahalep-halep anulari rehnikang henu.
Bannanyasuragatulis makalasa baritu  wunnika sinang rateng.
Mangka tingkah i padmaraganika sahya sasekar apajeng-pajeng dadu.
Tan pacri teka ring petung gadding ebunya padda tumut apawwahan gadding.
15.Sungguhlah indah, ketika ia mendekati kota, karena ia memberikan keelokannya kepada segala yang berkumpul ada di jalan. Pohon bana merupakan bantal yang disulam dan  mempergunakan tikar yang beraneka warna. Buah wuni kemerah-merahan karena telah masak. Begitu pula bunga padma yang merah, karena berkembang indah bunganya menyerupai payung merah tua. Pohon bambu kuning kehilangan indahnya, begitu pula sama keadaannya dengan tunas-tunas muda yang berbuah gading.

16.               Iwir tan wruh ring unadhikangalasa pinndda bisu tuli watunya ring jurang.
Honnya ng kumbang i kembanging rangin adoh wruha ri resep i pushpaning seddah.
Anggeng cengga manuknya codda nacad ing syung atuha ri kalangwaning wukir.
Tekwan tan kahananwelas-arep ulah ni sepahanika tan lumis mata.
16.Rupa-rupanya hutan itu tidak mengetahui keadaan, batu-batu di jurang seolah-olah tidak dapat berbicara dan tuli. Ada beberapa kumbang di atas bunga rangin karena agak jauh tempatnya untuk dapat melihat keindahan bunga sirih. Burung Cengga terus menerus berbunyi, sedangkan burung coda mencela burung beo, karena ia mengira merupakan puncak dari keindahan bukit. Keindahan sepahan sirih sangat menyedihkan, sehingga ia tidak menghiraukan sesuatu hal.

Sumber:
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosupatro: “Kakawin Baratha-Yuddha” Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1968 – Penerbit Bhratara – Jakarta.  
Posted:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

Minggu, 05 Mei 2013

Dongeng Burung Emprit dan Burung Tinggalanak Bag.1 Karya Slamet Priyadi diceritakan oleh Kak Sita

Denmas Priyadi Blog | Minggu, 05 Mei 2013 | 09:22 WIB

Burung Emprit
Adik-adik, sudah lama kak Sita tidak bercerita lewat blog ini. Sekarang, kak Sita mau bercerita tentang seekor burung Jawa, namanya burung “Emprit” dan burung ”Tinggalanak” yang berasal dari negeri Mesir. Menurut ceritanya, burung emprit adalah jenis burung bertubuh kecil, berbulu hitam berkilauan. Konon menurut yang empunya cerita, burung emprit mampu terbang ribuan kilo meter jauhnya tanpa merasa lelah sedikitpun. Mirip dan beda sedikit dengan burung emprit yang bertubuh kecil adalah burung tinggalanak yang asalnya dari negeri Mesir. Burung tinggalanak juga berbulu hitam, hanya tubuhnya lebih kecil dibanding burung emprit. Yang unik dari burung tinggalanak adalah bunyi suaranya yang begitu menyayat. Terdengar sangat memilukan seperti perasaan orang yang sedang ditinggal mati oleh orang yang sangat dikasihinya. Bahkan  ada sebagian orang menyebutnya burung ini adalah burung syetan.
Bagi sebagian masyarakat di daerah Jawa terutama Jawa Tengah, Jawa barat dan masyarakat Jakarta, burung ini dipercaya burung pembawa berita kematian. Apabila sebuah kampung didatangi burung tinggalanak ini dan berbunyi berulang-ulang di kampung tersebut, itu suatu pertanda bahwa akan ada salah satu anggota keluarga di kampung itu yang akan meninggal dunia. Bahkan  ada sebagian orang menyebut burung tinggal anak ini dengan nama burung  burung syetan. Bunyi suara burung tinggal anak ini kalau didengarkan baik-baik seperti kata-kata dalam bahasa Jawa: “Pit...pit...pit...pit...pit... balikno Mesirrrr...!” Artinya kira-kira demikian, “prit, prit, prit... kembalikan saya ke Mesir”.
Nah, adik-adik! Kenapa bisa seperti itu? Tentu ini ada cerita yang melatarbelakanginya. Menurut cerita dari orang tua kakak, dulu ketika kakak masih kecil saat mau tidur, sering didongengkan berbagai macam cerita. Jika belum didongengkan kakak belum mau tidur. Salah satu cerita yang didongengkan itu adalah cerita dongeng burung emprit dan burung tinggalanak ini. Beginilah ceritanya!
 
Suatu ketika burung emprit mengembara ke negeri Mesir yang menurut kabar berita negeri tersebut memiliki hutan dan pepohonan yang sangat lebat. Begitu pula dengan hamparan persawahan yang luas, subur dengan padinya yang selalu menguning di setiap saat. Berita ini telah membuat hati burung emprit tergiur dan terpesona untuk pergi ke negeri Mesir. Maka tanpa berpikir panjang, apakah cerita itu benar atau tidak, tanpa basa-basi lagi terhadap sesama handai tolan dan keluarganya di Jawa, burung emprit pergi mengembara ke negeri Mesir untuk melampiaskan keingintahuannya tentang negeri yang kaya dan subur itu. Burung emprit pun segera terbang tinggi-tinggi, jauh melewati beberapa negeri, menyeberangi luasnya samudra.
Di setiap negeri yang disinggahi, Ia tak lupa bertanya kepada burung-burung yang berpapasan dengannya, dimana letak negeri Mesir itu. Suatu ketika ia berpapasan dengan seekor burung camar yang sedang melintas di atas laut negeri Malaysia, 
“Wahai sobat, apakah sobat tahu di manakah letaknya negeri Mesir itu?”  Berkata burung emprit saat berpapasan dengan burung camar yang sedang terbang di atas samudra, laut negeri Malaysia
.
“Oh, anda terus saja terbang menuju arah utara! Negeri tersebut masih sangat jauh dari sini, tetapi anda jangan putus asa karena Mesir adalah negeri yang sangat makmur, begitulah cerita yang saya dapat dari burung-burung yang sudah pernah berkunjjung ke sana!” Demikian jawab burung camar yang dijumpainya itu. 
Tentu saja mendengar jawaban yang senada dengan berita yang telah didapatnya di negeri  Jawa itu, membuat tekad sang burung emprit semakin kuat. Ia pun segera mengepakkan sayapnya lebih kuat lagi terbang ke arah utara menuju negeri Mesir.

Alkisah, negeri Thailand, Jepang, India bahkan negeri China telah dilaluinya. Singkat cerita, maka sampailah burung emprit di negeri Mesir. Akan tetapi yang dilihat di sana tidak seperti kabar yang didapat. Ia hanya melihat dataran luas dengan pepohonan yang terpisah-pisah, tak ada hamparan hutan dan persawahan dengan padi yang menguning seperti di negeri Jawa. Sang burung emprit terus masuk ke dalam lagi melintasi daerah perkotaan yang ramai dengan lalu lalang orang-orang mesir dengan segala aktivitasnya di sebuah pasar yang cukup ramai. Sang emprit Jawa terus kepakkan sayapnya. Tubuhnya yang lelah dan haus mulai mengganggu daya terbangnya. Akan tetapi ia tak putus asa, semangatnya untuk mencapai negeri Mesir dengan segala kemewahan dan kekayaan alamnya tidak membuat ia patah semangat. Dan, ia pun terus kepakkan sayapnya terbang melintasi kota-kota dan dataran luas di negeri Mesir.
Di suatu tempat yang nampak subur dengan sedikit ditumbuhi pepohonan dan sungai yang airnya begitu jernih, sang emprit melepaskan lelahnya. Ia bertengger di sebuah dahan pohon memakan buah yang ada di pohon itu. Sejenak kemudian ia menukik ke sungai untuk minum melepaskan rasa hausnya dan kembali bertengger di dahan pohon sambil kepalanya menoleh ke arah kiri dan kanan barang kali ada sebangsa burung lain di daerah itu. 
Ketika ia sedang merenung dengan apa yang sudah dilakukan, pergi mengembara dari Jawa hingga sampai di negeri Mesir seperti ini, tiba-tiba datang mendekati seekor burung betina berbulu halus berwarna hitam mirip seperti dirinya yang tak sungkan-sungkan dan malu-malu langsung menyapanya dengan ramah dan sopan, 
“Kawan, perkenalkan nama saya Tinggalanak, saya bertempat tinggal di pohon yang ada di seberang sana itu! Nampaknya anda burung asing di tempat ini, dari manakah asal negeri anda?” Tanya burung Mesir kepada burung emprit Jawa sambil memperkenalkan nama dan tempat tinggalnya.
“Oh, ya... ya...! burung Emprit Jawa menjawab agak tergagap karena ia tak menyangka ada jenis burung yang datang menghampiri dan langsung menyapanya dengan penuh keramahtamahan. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu ia pun melanjutkan kata-katanya,
“Nama saya Emprit Jawa berasal dari negeri Jawadwipa di kepulauan Nusantara. Adapun kedatangan saya ke negeri Mesir ini karena saya terpesona oleh keindahan dan kemegahan serta segala kemewahan dan kesuburan akan alamnya yang saya dengar dari berita teman-teman saya yang pernah singgah di negeri anda ini!” 
“Oh,begitukah? Jawab burung Mesir sedikit terperanjat, lalu meneruskan kata-katanya kembali, “tapi apakah malah bukan sebaliknya? Negeri andalah yang sudah terkenal ke peloksok negeri akan keindahan, kesuburan serta keramahtamahan penduduknya. Sungguh ketenaran negeri anda Jawa Dwipa Nusantara itu sudah sampai ke negeri kami, Mesir! Dan, sebagai tanda persahabatan kita, saya persilahkan anda untuk beristirahat sepuasnya di tempat hunian kami di pohon seberang itu! Burung Mesir dengan segala keramahtamahannya mempersilahkan burung emprit untuk singgah beristirahat di tempatnya.
Menerima tawaran persahabatan dengan segala keramahtamahan dan kebaikan dari burung Mesir, burung Emprit Jawa menjadi senang dan tak mau menghilangkan kesempatan yang baik itu. Maka ia pun menerima tawaran itu dengan perasaan suka cita lalu berkata kepada burung Mesir yang bernama Tinggalanak itu,
“Ya, ya, ya...Tinggal anak! Sungguh anda baik hati dan ramah sekali. Terus terang saya benar-benar merasa terpuji namun sedikit risih menerima persahabatan ini karena kita baru saja bersua di tempat ini”. Berkata burung Emprit Jawa sambil menatap mata burung Mesir yang bening itu.
“Mari Emprit, kita terbang ke pohon di seberang itu! Di sanalah tempat tinggal kami bersama kedua anak kami yang masih kecil-kecil”. Demikian ajak burung Mesir dengan terus terang kepada burung emprit Jawa sambil kepakkan sayap terbang menuju ke pohon sebelah, sementara emprit Jawa mengikutinya dari belakang.
Sebentar kemudian sampailah keduanya di tempat tinggal burung Mesir. Di sana nampak kedua anak dari burung Mesir yang masih kecil dengan bulu-bulunya yang mulai tumbuh menghiasi tubuhnya. Saat melihat kehadiran induknya, keduanya mencicit gembira dan langsung masuk ke dalam ketiak sayap ibunya.
“Nah, ini kedua anak kami! Usianya baru dua bulan, sebenarnya kami masih dalam suasana berduka karena tiga bulan yang lewat ayahnya telah meninggalkan kami, ia tewas tertembak tak disengaja oleh dua orang pemburu yang datang kemari berburu kuda Nil di sungai itu”. Dan kedua anak kami ini tak sempat melihat wajah ayahnya”. 
“Oh, begitukah? Sungguh saya merasa prihatin dan empatik sekali dengan musibah yang telah menimpa keluarga anda, Tinggalanak. Akan tetapi, lalu bagaimana anda bisa menyusui kedua anak anda itu dengan tenang, sementara saya melihat tempat ini begitu sangat rawan bahaya dari bangsa ular pemangsa yang sewaktu-waktu bisa merayap ke pohon ini?”
“Sebenarnya itu salah satu yang menjadi pemikiran saya, Emprit Jawa”. Jawab burung Mesir sambil mempersilahkan kepada burung Emprit Jawa untuk menyantap buah-buahan yang masih bergantung di pohon tempat tinggalnya itu. Lalu melanjutkan pembicaraannya lagi, “Saya merasa, mungkin ini sudah menjadi nasib kami karena di luar sana pun belum tentu lebih aman dari tempat ini. Dan akhir-akhir ini malah lebih banyak para pemburu kuda Nil yang datang ke daerah ini. Belum lagi bangsa ular pemanjat dan burung pemangsa yang tubuhnya besar selalu memonitor kami di sini. Sungguh kami sangat mengkhawatirkan akan hal tersebut, terutama untuk kedua anak kami yang masih kecil ini”. Mendengar kata-kata seperti itu dari induknya, kedua anaknya semakin menelusupkan tubuhnya ke balik sayap induknya seakan mereka sudah mengerti dan faham dengan situasi dan keadaan yang terjadi dengan mereka.
Saat sedang asyik-asyiknya mereka berbincang-bincang, tak disadari oleh mereka bahwa ada seekor ular berwarna hijau kecokelatan dengan sisik berwarna kuning di kepalanya, merayap mendekati mereka mengintai kedua anak burung Mesir hendak memangsanya.  Untung saja burung emprit Jawa melihat ular itu. Ia memang sudah mewaspadai akan keadaan seperti ini yang sewaktu-waktu bisa terjadi menimpa keluarga burung Mesir. Ia pun berkata kepada burung Mesir dengan sikap yang lebih tenang agar burung Mesir dan anak-anaknya tidak gugup melihat dan menghadapi keadaan seperti ini,
“Tinggalanak, kau lihat itu! Seekor ular hijau kecokelatan yang bertubuh cukup besar  sedang merayap kemari. Sebaiknya mari  kita bawa kedua anakmu ke tempat yang lebih aman sebelum ular itu memangsa kita dan kedua anakmu yang masih kecil-kecil dan belum bisa terbang itu ke tempat yang lebih aman, ya ke pohon yang pertama saya singgahi tadi”. Dengan cepat burung emprit Jawa membawa salah satu dari kedua anak burung Mesir, sementara burung Mesir membawa anaknya yang satunya lagi. Mereka berdua terbang menuju pohon yang tadi disinggahi oleh burung emprit Jawa. Dan selamatlah jiwa mereka dari bahaya yang barusan mengancam dan hampir saja melenyapkan jiwanya.(Bersambung)
  
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

BLOG SLAMET: "INILAH KARYAKU": Dongeng Burung Emprit dan Burung Tinggalanak 1 Kar...: Denmas Priyadi Blog | Minggu, 05 Mei 2013 | 09:22 WIB Burung Emprit Adik-adik, sudah lama kak Sita tidak bercerita lewat blog in...